JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi II DPR RI, Fraksi Golkar, Ahmad Irawan menyatakan untuk memutuskan tentang pelaksanaan pilkada, harus dimulai dengan pertimbangan pada aspek bagaimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi daerah (Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945) dan adanya ketentuan konstitusional di dalam UUD 1945 bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4 UUD 1945).
"Dari asas otonomi daerah tersebut, terlihat bahwa pilkada itu wujud dari kebijakan desentralisasi politik. Jadi daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam design kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan Kabupaten/Kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat," papar Politisi Muda Partai Golkar itu, Sabtu (13/12/2024).
Dari pertimbangan sisi lain, lanjutnya, yang menjadi bahan pemikiran adalah makna dipilih secara demokratis dalam UUD 1945. Dari prinsip dan praktik konstitusional, itu bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct democracy/indirect democracy).
"Jadi dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada atau tidak langsung melalui DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, itu sama demokratisnya dan juga masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme. Karena anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota anggota-anggotanya juga dipilih melalui pemilihan umum (political representation) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945," ungkapnya.
Pertimbangan lainnya adalah menyangkut prinsip efisiensi, yang merupakan asas atau prinsip yang dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan atau tekhnis penyelenggaraan pemilu.
"Efisiensi itu tergantung dari kebijakan politik hukum kita yang diatur dalam undang-undang. Kalau proses pemilihan kepala daerah kita pindahkan ke DPRD, pasti lebih efisien. Mengenai kebijakan penyelenggaraan pemilu ini agar efisien, kita sudah beberapa kali bongkar pasang kebijakan. Terakhir kita melaksanakannya dengan pemilu dan pilkada serentak, ternyata tidak efisien juga," ungkapnya lagi.
Tapi ia menekankan bahwa faktor efisiensi itu hanya masalah teknis dari pelaksanaan pilkada.
"Kalau bicara prinsip dasar konstitusionalisme, dasarnya adalah pemilihan yang demokratis," pungkasnya.