Jakarta, 24 Februari 2025-Pada tanggal 24 Februari 2025, pemerintah meresmikan Badan Pengembangan Investasi, Danantara, sebuah entitas yang dikabarkan akan mengelola aset senilai Rp14.000 triliun hingga Rp15.000 triliun. Jika angka ini benar, maka nilainya hampir setara dengan total utang negara dan utang BUMN yang saat ini diperkirakan mencapai Rp16.000 triliun. Konsep Danantara disebut-sebut sebagai superholding BUMN, meskipun sebagian besar aset BUMN saat ini sudah melibatkan kepemilikan swasta dan perorangan. Namun, berbagai pertanyaan mendasar muncul mengenai status hukum, legitimasi, serta tata kelola entitas ini.
Asal-Usul dan Dasar Hukum Danantara
Danantara dikatakan lahir dari revisi Undang-Undang BUMN. Namun, hingga kini, revisi UU tersebut belum dipublikasikan secara luas ke publik. Prosesnya pun dinilai berlangsung cepat dan minim keterlibatan masyarakat dalam konsultasi publik. Jika ada pihak yang merasa proses ini melanggar tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, kemungkinan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) bisa terjadi—seperti yang pernah terjadi dalam kasus Omnibus Law.
Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apa sebenarnya Danantara? Apakah ia merupakan lembaga keuangan, bank, perusahaan asuransi, ataukah suatu badan investasi? Hingga saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai status hukum dan kewenangan entitas ini.
Kedudukan Danantara dalam Konstitusi
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, beberapa lembaga negara memiliki kewenangan ekonomi yang spesifik:
1. Pasal 23D UUD 1945 menetapkan keberadaan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang independen, dengan tugas utama dalam kebijakan moneter dan nilai tukar. Danantara tampaknya bukan merupakan bagian dari otoritas moneter, meskipun nantinya akan mengelola aset yang signifikan.
2. Pasal 23 UUD 1945 mengatur bahwa pengelolaan APBN harus melalui UU APBN, sehingga penggunaan dana negara secara langsung oleh Danantara memerlukan legitimasi hukum yang kuat. Jika Danantara mengelola dana yang diklaim berasal dari efisiensi APBN, maka mekanisme tersebut harus selaras dengan regulasi yang ada.
3. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara harus dikuasai oleh negara. Jika Danantara merupakan sebuah badan usaha yang menaungi berbagai sektor ekonomi, maka posisinya perlu dikaji lebih lanjut dalam konteks konstitusi.
Jika tidak memiliki landasan hukum yang jelas dalam UUD 1945, maka keberadaan Danantara berpotensi menjadi subjek judicial review di MK. Hal ini bisa berujung pada pertanyaan konstitusional tentang legalitas dan kewenangan lembaga tersebut.
Tantangan Kredibilitas dan Independensi Danantara
Sebagian masyarakat terdidik mempertanyakan efektivitas Danantara, terutama terkait dengan dominasi dan intervensi kepentingan politik dalam pengelolaan aset negara. Kekhawatiran ini berangkat dari pengalaman sebelumnya, di mana lembaga atau badan usaha milik negara sering kali mengalami tantangan dalam menjaga independensinya dari dinamika politik pemerintahan.
Tanpa sistem tata kelola yang kuat dan transparan, Danantara berisiko menjadi instrumen kekuasaan alih-alih lembaga yang benar-benar bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi. Keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh mekanisme pengawasan, regulasi yang jelas, serta jaminan bahwa pengelolaan aset negara tetap berpihak pada kepentingan publik, bukan sekadar elite tertentu.
Akuntabilitas dan Risiko Kekebalan Hukum
Salah satu aspek yang juga menjadi perhatian adalah pertanggungjawaban hukum manajemen Danantara. Jika dalam regulasi yang mengatur Danantara terdapat klausul yang memberikan imunitas hukum terhadap potensi kerugian akibat salah kelola atau keputusan bisnis yang gagal, maka hal ini bisa menjadi preseden berbahaya.
Dalam tata kelola perusahaan negara, direksi dan manajemen biasanya tetap bertanggung jawab atas tindakan kelalaian, penyalahgunaan wewenang, atau keputusan yang menyebabkan kerugian negara. Namun, jika Danantara diberikan perlindungan hukum yang membebaskan pengelolanya dari tuntutan pidana atau perdata, maka hal ini bisa menimbulkan moral hazard, di mana keputusan bisnis diambil tanpa mempertimbangkan risiko keuangan yang sehat.
Implikasi dari kebijakan ini bisa berdampak besar, termasuk:
1. Minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara.
2. Potensi penyalahgunaan kewenangan karena tidak adanya konsekuensi hukum bagi pengelola.
3. Risiko kerugian negara yang sulit dipertanggungjawabkan, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus skandal keuangan BUMN di masa lalu.
Jika benar Danantara memiliki kekebalan hukum, maka hal ini perlu menjadi perhatian serius, baik dari masyarakat, parlemen, maupun lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Transparansi dan mekanisme pengawasan yang kuat harus dijamin agar pengelolaan aset negara tetap akuntabel dan tidak menjadi alat bagi kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Prabowo perlu mencermati aspek hukum dan konstitusional dari pembentukan Danantara, agar tidak menimbulkan kontroversi hukum di kemudian hari. Mekanisme hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan negara harus memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan konstitusionalitas, guna memastikan legitimasi serta keberlanjutan kebijakan ekonomi nasional. Jika tidak, maka Danantara berpotensi menghadapi tantangan hukum yang serius, baik melalui judicial review maupun pengawasan dari masyarakat sipil dan lembaga hukum.
Dengan segala tantangan ini, langkah yang lebih inklusif dan transparan dalam pembentukan Danantara menjadi krusial. Keterlibatan publik, akademisi, serta pengawasan ketat dari berbagai pihak akan menjadi faktor utama dalam menentukan apakah Danantara benar-benar mampu menjadi solusi bagi perekonomian nasional atau justru akan menambah permasalahan baru.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #