JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Ahli hukum pidana I Gusti Ketut Ariawan menilai, Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bukan merupakan delik terhadap agama, melainkan berlaku buat golongan penduduk.
Sementara itu, Pasal 156a memang khusus untuk penodaan agama, walaupun harus dilihat secara historis kapan Undang-undang itu dikeluarkan. Dalam konsteks historis, UU Pasal 156a sendiri sebagai kerangka penyelamatan negara Indonesia dari munculnya aliran kepercayaan yang dianggap membahayakan agama di Indonesia.
"Oleh karena itu kita tetap kepada tataran penodaan terhadap agama diberlakukan Pasal 156a, tapi penyelesaiannya tetap UU nomor 1 PNPS tahun 1965. UU itu adalah pencegahan, berarti preventif, bukan represif," kata Ariawan dalam sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama, dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Gedung Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Oleh karenanya, dia menyimpulkan, bunyi Pasal 156 dan Pasal 156a tidak secara tegas menentukan klasifikasi seseorang melakukan penodaan agama. Dengan demikian, untuk melihat adanya dugaan penistaan agama sangat sulit, lantaran harus ada niat.
"Tapi saya jelaskan bahwa seharusnya yang diberlakukan itu seyogyanya UU 1 PNPS 1965," tandasnya.
Pasal 156 KUHP mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Sementara, Pasal 156a mengatur pidana penjara paling lama lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (plt)