JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Akhir Maret lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Salah satu dasar terbitnya Perppu ini memberi fondasi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan. Seperti, mengalokasikan anggaran belanja negara untuk kesehatan; jaring pengaman sosial; pemulihan perekonomian termasuk dunia usaha; dan masyarakat terdampak.
Pemerintah memutuskan tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 yang totalnya sebesar Rp405,1 triliun. Rinciannya: Rp75 triliun belanja bidang kesehatan; Rp110 triliun perlindungan sosial; Rp70,1 triliun insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan Rp150 triliun pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
Termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM). Hal ini melalui realokasi dan refokusing APBN 2020 maupun APBD di setiap pemerintah daerah.
TEROPONG JUGA:
> Benarkah Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 Timbulkan Celah Bagi Koruptor? Ini Penjelasan DPR dan Indef
> Perppu Corona Perlu Didukung Dengan Catatan Pasal 27 Harus Dihilangkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani usai menyerahkan Perppu tersebut kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Kamis (2/4/2020), mengatakan, Presiden Jokowi berharap agar RUU Perppu ini bisa dibahas dan disetujui oleh DPR dalam waktu dekat.
Perppu ini mendapat kritik dan perhatian sejumlah kalangan. Diantaranya, pertama, substansi Pasal 27 Perppu terkait biaya penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian bukan kerugian negara serta tindakan pejabat pelaksananya dengan itikad baik tidak bisa dituntut/digugat secara pidana/perdata dan bukan objek gugatan TUN. Kedua, substansi Pasal 28 Perppu ini memangkas sebagian fungsi anggaran (budgeting) DPR.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Yayasan Mega Bintang 1997, LP3HI, KEMAKI dan LBH PEKA, telah mengajukan permohonan uji materi atau judicial review atas Perppu itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/4/2020). Dalam permohonannya, MAKI meminta pasal 27 pada Perppu tersebut, yang terkait imunitas aparat pemerintahan dari tuntutan perdata dan pidana saat melaksanakan aturan, agar dibatalkan.
Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020 berbunyi:
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Anis Byarwati memandang ada hal yang ganjil dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Dia mengatakan logika ketentuan Pasal 27 Perppu tersebut tidak masuk akal, karena dana yang digunakan tersebut merupakan anggaran APBN lewat penerbitan surat utang yang nantinya dibayar oleh pemerintah.
Selain itu, lanjut Anis, pasal ini berpotensi menjadi celah untuk penyelewengan, karena dari awal sudah dilindungi. Pada bagian lain, fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit dibungkan. Padahal, potensi penyalahgunaan dana sangat tinggi. Sebab itu, Anis menilai ketentuan Pasal 27 tersebut harus dibatalkan atau dihapus oleh MK.
“Ya kira-kira begitu (Pasal 27 dihapus-red),” kata Anis Byarwati saat dihubungi, Senin (13/4/2020).
Menurut Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini, Perppu ini harus dibaca secara cermat dan hati-hati. Dia mengatakan bisa lihat dengan jelas dari alokasi Rp 405,1 triliun itu, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp 70,1 T + 150 T= Rp220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja di atas.
“Ini kan aneh. Masalah yang kita hadapi ini adalah darurat kesehatan sebagaimana pernyataan Presiden, tapi lebih dari separuh anggaran dialokasikan justru untuk insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi. Sedangkan alokasi anggaran untuk kesehatan hanya 18,5% dari total tambahan belanja,” jelasnya.
Hal lain, tambah Anis, pembiayaan dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional yang nilainya mencapai Rp150 triliun harus betul-betul diawasi. Sebab, dari bahan paparan Menteri Keuangan, poin itu sangat minim penjelasannya, padahal porsinya mencapai 37 persen.
Legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta I (Jakarta Timur) ini menuturkan, dalam hal darurat wabah Covid-19, prioritas Pemerintah mestinya menyelamatkan masyarakat. Sebab itu, ia menandaskan Pemerintah tidak boleh setengah hati untuk menyelamatkan nyawa rakyat.
“Segera tarik Omnibus Law Cipta Kerja, tunda agenda pemindahan ibukota, termasuk proyek-proyek infrastruktur lainnya. Gunakan anggarannya untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi rakyat. Dan bukan malah memotong dana abadi pendidikan,” tegasnya. (Allan)