JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Ravio Patra mengajukan praperadilan terhadap Polda Metro ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (3/6/2020). Ravio Patra mempersoalkan sah-tidak sahnya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh institusi Polri tersebut terhadapnya.
Permohonan praperadilan diajukan oleh tim Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus selaku kuasa hukumnya Ravio Patra. Salah satu anggota tim, Okky Wiratama mengatakan terdapat kejanggalan dalam penangkapan yang dilakukan Polda Metro Jaya terhadap Ravio Patra.
Laporan polisi yang ditujukan terhadap Ravio di hari yang sama dan selang beberapa menit setelah Ravio mengalami peretasan terhadap nomornya.
Polda Metro Jaya, kata dia, tidak melakukan pemanggilan saksi terlebih dahulu terhadap Ravio, namun langsung melakukan penangkapan di malam hari pada 22 April 2020.
Lalu penetapan tersangka berdasarkan gelar perkara dan setelahnya barulah dapat dilakukan penangkapan. "Ini sesuai dengan Peraturan Kepala Bareskrim Polri Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana," kata Okky.
Penangkapan Patra
Kisah ini bermula saat aktivis demokrasi Ravio Patra ditangkap di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 22 April 2020. Ravio ditangkap atas dugaan penyebaran berita yang menghasut pada tindak kekerasan dan kebencian melalui aplikasi pesan WhatsApp.
Kepolisian menilai pesan singkat itu telah meresahkan masyarakat sehingga polisi langsung melacak pemilik nomor WhatsApp yang menyebarkan pesan bernada provokatif tersebut. Ravio Patra sebagai pemilik WA akhirnya ditangkap.
Tapi sebelum penangkapan, Ravio Patra sudah melaporkan bahwa nomor WA miliknya di-hack seseorang. Pada akhirnya Ravio Patra dibebaskan polisi. Tapi kasus itu menimbulkan pertanyaan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan kepolisian atas penangkapan aktivis Ravio Patra.
Mahfud minta kasus tersebut menjadi pelajaran bagi aparat kepolisian agar lebih menahan diri untuk tidak menangkap seseorang sampai ada bukti yang kuat. "Pelajaran untuk aparat kita menahan diri juga, kalau tidak ada bukti yang kuat, anggap saja itu sebagai kritik," kata Mahfud dalam sebuah video yang dibagikan Humas Kemenko Polhukam kepada wartawan, Sabtu (25/4/2020).