JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Pengungkapan dugaan suap Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan kepada mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan tidak ada kaitan dengan asas praduga tak bersalah. Meski demikian, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dan keterangan saksi Sekretaris KPUD Papua Barat yang menyebut adanya aliran dana Rp 500 juta dari Dominggus ke Wahyu harus diuji dulu melalui proses pembuktian di pengadilan.
”Butuh konfirmasi yang harus digali oleh penuntut umum. Sehingga, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nantinya bisa melakukan pendalaman agar proses pengadilan berjalan maksimal,” kata peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/7/2020).
Hal ini disampaikan Tama menanggapi dugaan suap atau gratifikasi yang disebut juga diterima terdakwa Wahyu Setiawan dari Gubernur Dominggus Mandacan. Sementara, Wahyu bersama kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina saat ini sedang diadili terkait dugaan suap yang dilakukan politisi Harun Masiku dalam kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan.
Dalam dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta bulan Mei lalu, JPU Takdir Suhan menyebut bahwa selain suap dari Harun Masiku, terdakwa Wahyu Setiawan juga diduga menerima gratifikasi dari Gubernur Dominggus terkait proses seleksi anggota KPUD Papua Barat.
Dakwaan JPU diperkuat oleh kesaksian Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo dalam persidangan yang digelar Jumat (9/7). Selain mengaku menerima dana dari Gubernur Dominggus melalui ajudan, Thamrin juga mengaku dialah yang mentransfer dana setengah miliar itu kepada Wahyu lewat rekening milik istri sepupunya.
Penyebutan nama Gubernur Dominggus dalam persidangan itu kemudian menyulut reaksi dari sebagian kalangan masyarakat Papua Barat. Beberapa tokoh pemuda setempat menyayangkan penuntut umum KPK yang mereka anggap telah melakukan kriminalisasi dan melanggar asas praduga tak bersalah, karena mengungkap nama Gubernur Dominggus tanpa klarifikasi terlebih dahulu.
Menjawab pertanyaan seputar kemungkinan persidangan Wahyu Setiawan menyeret tersangka lain, Tama S Langkun mengatakan, hal itu tergantung dalil-dalil putusan dan pertimbangan majelis hakim dalam kasus Masiku.
”Apakah fakta-fakta persidangan bisa menjadi pertimbangan yang perlu ditindaklanjuti, sehingga bisa menjadi dasar bagi KPK untuk membuka proses penyelidikan baru terhadap si A atau si B,” tuturnya.
Yang jelas, lanjut Tama, bisa ada penyelidikan baru dengan tersangka baru, namun prosesnya tetap harus dilalui terlebih dalulu. Tidak bisa langsung. ”Harus ada pertimbangan majelis hakim yang mendalilkan perlunya penyelidikan baru di persidangan,” ujarnya.
Karena itu, menurut Tama, semua tergantung pada jaksa. Apakah keterangan saksi (Sekretaris KPUD Papua Barat) perlu didalami atau tidak. Kalau informasinya betul, jaksa tentu akan meminta keterangan saksi-saksi lain untuk pendalaman.
”Jadi, sekali lagi, ini tidak ada kaitan dengan pelanggaran (yang disebut dilakukan KPK) terhadap asas praduga tak bersalah. Namun untuk memulai penyelidikan baru, tetap harus melalui putusan pengadilan dengan dalil-dalil pertimbangan yang kuat,” pungkas Tama.
Terpisah, pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji meyakini, KPK akan menyelidiki setiap kasus dugaan korupsi yang muncul dalam fakta persidangan. Hal itu mengingat lembaga anti-rasuah tersebut sudah terbiasa mengungkap tindak kejahatan korupsi yang faktanya muncul dalam persidangan. ”KPK biasanya sangat responsif terhadap fakta-fakta dan hasil kesaksian di persidangan,” tuturnya.
Ditambahkan, fakta persidangan merupakan bagian dari pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan) bagi KPK. Karena masih perlu dibuktikan melalui penyelidikan guna mencari sejumlah alat bukti yang cukup.
”Keterangan terdakwa maupun saksi dalam persidangan itu perlu di cross check examination dari sisi hukum pidana untuk dinilai keabsahan dan legitimasi keterangannya,” jelas Indriyanto.