JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Barita LH Simanjuntak mengingatkan Kejaksaan Agung untuk melakukan inventarisir terhadap aset-aset buronan kasus korupsi Bank Bali, yakni Djoko Tjandra. Sebab, Djoko Tjandra disinyalir sempat mengubah namanya menjadi Joko Soegiarto Tjandra melalui Pengadilan Negeri di Papua.
"Setiap pelaku tindak pidana korupsi kan, pertama kalau sudah ada putusan pengadilan yaitu kejar tangkap orangnya, kejar uangnya, kejar asetnya. Itu sudah satu paket. Jadi bukan hanya orangnya, bukan hanya uangnya, tapi hartanya sesuai putusan pengadilan tentunya. Ini yang harus dilaksanakan," kata Barita kepada wartawan pada Minggu, 19 Juli 2020.
Menurut dia, putusan pengadilan itu tentu menyangkut pemidanaan terhadap orang termasuk apakah ada rampasan harta bendanya. Makanya, perlu dikejar uang dan hartanya juga termasuk apakah ada uang pengganti untuk menginventarisir harta-hartanya.
"Itu harus disesuaikan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga komplit. Tangkap orangnya eksekusi sesuai putusan, kejar harta-hartanya karena sesuai putusan pengadilan, dan kejar uangnya juga. Tentu harus dikaitkan dengan apa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tentang hal ini," ujarnya.
Sementara Koordinator MAKI (Masyarakat Antikorupsi Indonesia), Boyamin Saiman menjelaskan penegak hukum bisa saja merampas harta atau aset-aset milik buronan kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Patut diduga, Djoko Tjandra selama pelariannya mendapatkan beberapa aset terkait dengan keberadaan hasil investasi dan lainnya.
"Itu bisa saja diambil oleh negara karena diperoleh saat buron, namun harta tersebut dialihkan kepada pihak lain. Serangkaian ini tetap bisa ditindaklanjuti penegak hukum untuk diambil. Karena apapun proses-proses yang menyangkut berkaitan dengan harta-harta yang diperoleh selama masa buron, patut diduga dengan cara-cara ilegal," jelas dia.
Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu baru berlaku tahun 2002, Boyamin mengatakan bisa saja aset atau harta Djoko Tjandra yang berkaitan dengan perolehannya ketika buron itu bagian dari pencucian uang. Sehingga, ketika Djoko jadi buronan dan memperoleh aset apapun harusnya disita negara.
"Karena dalam penjelasan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang itu, tidak harus dicari atau ditemukan predikat crime-nya apabila diduga ini hasil pencucian uang," kata Boyamin.
Apalagi, Boyamin mengatakan beredar kabar kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia itu dalam rangka untuk menyelamatkan aset-asetnya yang rata-rata berupa PT dan sahamnya pun tampaknya sudah atas nama orang lain. Nah, proses-proses perusahaan atas nama PT yang dialih-alihkan ke pihak lain inilah yang patut diduga serta ditelusuri sebagai dugaan pencucian uang.
"PPATK, kepolisian, kejaksaan dan KPK harus turun tangan berkaitan dengan harta-harta Djoko Tjandra yang ada di Indonesia. Kalau bicara disita, itu tidak bisa disita. Karena waktu kasus cessie Bank Bali belum ada TPPU, dan uang yang diduga mengalir ke Djoko Tjandra juga sudah diambil negara. Sebagian hartanya berupa PT, dan saham itu sudah atas nama orang lain. Jadi agak sulit dan berat memang untuk menyita harta-harta Djoko Tjandra," tandasnya.
Diketahui, MAKI menyebut narapidana dan buronan Djoko S Tjandra telah mengubah namanya menjadi Joko Soegiharto Tjandra melalui proses Pengadilan Negeri di Papua sehingga tidak terdeteksi oleh pihak imigrasi.
Djoko Tjandra telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020. Sementara, Djoko Tjandra kabur dari Indonesia pada 2009 dan telah berpindah kewarganegaraan Papua Nugini.
"Perubahan nama awal dari Djoko menjadi Joko menjadikan data dalam paspor berbeda, sehingga tidak terdeteksi oleh imigrasi. Hal ini pernah dibenarkan oleh Menkumham Yasonna Laoly, bahwa tidak ada data pada imigrasi atas masuknya Djoko S Tjandra," kata Boyamin.