JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengingatkan bahwa mantan napi korupsi dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2020.
“Koruptor tidak boleh lupakan putusan Mahkamah Konstitusi. Mantan narapidana korupsi dilarang maju dalam pilkada lewat putusan MK Desember 2019 lalu,” ujar Donal dalam keterangan tertulis, Kamis, 30 Juli 2020.
Ia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi lewat putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa mantan terpidana korupsi diharuskan menunggu lima tahun setelah keluar dari penjara baru dibolehkan untuk maju sebagai kepala daerah.
Donal mengungkapkan sudah ada preseden buruk bahwa mantan napi korupsi yang kembali menjabat kepala daerah mengulangi perbuatannya. Ia mencontohkan Bupati Kudus nonaktif, Muhammad Tamzil, dua kali terjerat kasus korupsi.
Donal Fariz
Pada Desember 2015, Tamzil menyelesaikan hukumannya akibat terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan. “Terpilih kembali sebagai kepala daerah pada 2018, di tahun yang sama ia terjerat kasus suap pengisian jabatan,” ungkap Donal.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020, lanjut dia, mempertegas pelarangan bagi seluruh mantan napi untuk ikut serta dalam kontestasi pilkada.
Menurutnya, fakta-fakta tersebut mestinya menghentikan niat mantan napi korupsi maju sebagai calon kepala daerah. Ia meminta seluruh pihak harus patuh terhadap putusan MK. Partai politik juga tidak boleh mengusung mantan napi korupsi.
“Warga sebagai pemilih juga harus ikut mengawasi untuk memastikan koruptor tidak maju sebagai calon kepala daerah,” katanya.
Donal mengatakan pelarangan tersebut menjadi penting karena kepala daerah harus dari sosok yang memiliki integritas dan kapasitas. Pilkada sebagai proses menentukan pemimpin harus dapat memastikan terpilihnya pemimpin yang berkualitas. “Jika mantan napi korupsi maju sebagai calon kepala daerah, maka cita-cita itu akan tercoreng," ujarnya.