JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Akibat kasus positif yang makin banyak, tujuh rumah sakit rujukan COVID-19 di DKI Jakarta, ruang isolasi dan intensive care unit (ICU) telah terisi 100 persen.
"Untuk ICU dan ruang isolasi di DKI Jakarta per 8 September 2020 di tujuh dari 67 RS rujukan COVID-19 atau 10,5 persen sudah penuh 100 persen," kata Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (10/9).
Namun Wiku tidak menyebutkan nama tujuh RS rujukan yang sudah habis kapasitas ruang isolasi dan ICU-nya tersebut.
"Sedangkan "bed occupancy ratio" (BOR) atau angka penggunaan tempat tidur ruang ICU dan isolasi yang sudah terisi lebih dari 60 persen ada di 46 dari 67 RS rujukan atau 68,6 persen," ungkap Wiku.
Selanjutnya BOR ICU dan ruang isolasi yang terisi di bawah 60 persen hanya terdapat di 14 dari 67 RS rujukan COVID-19 atau 20,9 persen.
"Dan kami perlu kami sampaikan bahwa RSD Wisma Atlet memiliki kamar untuk perawatan terutama pasien dengan kondisi sedang-ringan. Jumlah kamar yang ada 2.700 bed dan terisi 1.600, jadi masih ada 1.100 bed untuk perawatan pasien dengan status sedang-ringan," ungkap Wiku.
Selain itu RS Darurat Wisma Atlet juga membuat flat isolasi mandiri dengan kapasitas 4.800 kamar yang berada di tower 4 dan 5.
"Fasilitas ini digunakan untuk menampung masyarakat yang menderita COVID-19 khususnya Orang Tanpa Gejala yang tak bisa melakukan isolasi mandiri di rumah. Untuk itu perlu ada surat rekomendasi dari puskesmas atau kelurahan setempat sehingga bisa dirawat isolasi mandiri di flat isolasi mandiri RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran," tambah Wiku.
Hingga Kamis ini jumlah terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia mencapai 207.203 orang dengan penambahan hari ini sebanyak 3.861 kasus.
Terdapat 147.510 orang dinyatakan sembuh dan 8.456 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah pasien suspek mencapai 95.501 orang.
Kasus positif COVID-19 di DKI Jakarta pun sudah mencapai 50.671 kasus dengan penambahan per Kamis (10/9) adalah 1.274 kasus dengan total yang sudah sembuh 38.228 dan pasien yang meninggal sejumlah 1.351 orang.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Rabu (9/9) menyatakan "menginjak rem darurat" yang mencabut kebijakan PSBB Transisi dan memberlakukan kembali PSBB total.
Alasan Anies untuk mengambil keputusan tersebut karena tiga indikator yaitu tingkat kematian, ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU khusus COVID-19 dan tingkat kasus positif di Jakarta.
Pemberlakuan kembali PSBB yang diperketat ini mulai 14 September 2020 namun belum diketahui kapan berakhirnya
Jakarta Perlu Ketat
Wiki menyatakan Jakarta memang perlu pengetatan aktivitas ekonomi untuk mencegah peningkatan penyebaran COVID-19. "Selama lima pekan terakhir DKI Jakarta memang dalam kondisi kota-kotanya zona merah dan kondisi ini relatif tetap merah, kecuali ada beberapa kota di DKI yang pernah oranye dan saat ini kembali merah. Ini menunjukkan kondisi dengan tingkat penularan yang cukup tinggi, maka dari itu perlu pengetatan," kata Wiku.
Menurut Wiku, sebelum DKI Jakarta menetapkan PSBB tahap 1 pada 10 April 2020, kasus positif COVID-19 masih relatif rendah, kemudian tahap 2, dan 3 pada 4 Juni 2020 terlihat kasusnya terkendali, tetapi pada PSBB transisi kasusnya cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Sedangkan PSBB transisi fase 1 yang dijalankan berdasarkan Pergub No 51 2020 diawali 5 Juni 2020 dan perpanjangan sampai PSBB transisi fase 5 sampai 10 September 2020.
Wiku meminta penerapan PSBB ini dapat diterapkan secara disiplin agar dapat menekan kasus positif dan jumlah kematian.
"Kita harus menerima kenyataan ini dan kita harus mundur satu langkah, untuk bisa melangkah kembali ke depan dengan lebih baik dan dengan kehidupan yang lebih normal. Mari kita bangun kedisiplinan bersama jika kondisi ini tidak ingin terulang kembali," tambah Wiku.
.
Wiku juga menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan 5 tahap penilaian sebelum memberlakukan PSBB total mulai 14 September 2020.
"Di DKI Jakarta sudah melihat pra-kondisi menentukan kapan dibuka dan tidak, membuat prioritas sektor, melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat dan dalam monitoring evaluasi memang kita perlu bekerja sama lebih baik lagi dengan pemerintah pusat, daerah dengan masyarakat serta pengamat agar alarm yang kita ambil ada hikmahnya untuk segera melakukan pengetatan lebih tinggi lagi," kata Wiku.