Opini
Oleh Yorrys Raweyai Ketua MPR FOR Papua Anggota DPD RI (B-129) Daerah Pemilihan Provinsi Papua pada hari Kamis, 10 Des 2020 - 19:26:25 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengurai Kebuntuan Penyelesaian HAM di Tanah Papua

tscom_news_photo_1607603185.jpg
Yorrys Raweyai Anggota DPD RI (Sumber foto : Dokumen)

Penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua kembali menjadi perbincangan hangat. Selain karena kasus demi kasus yang dipandang tidak kunjung memperoleh solusi, eskalasi kekerasan dalam berbagai pola dan bentuknya yang semakin meningkat, menjadi bukti betapa persoalan hak asasi manusia tidak sepenuhnya menuai respons signifikan.

Kehadiran Otonomi Khusus bahkan diawali atas kesadaran bahwa kekuasaan yang berlangsung sejak lama cenderung abai atas hak-hak dasariah yang terkandung dalam rahim Papua.

Dengan segala kompleksitas tradisi, budaya dan tatanan sosial-kemasyarakatannya, Papua telah menjadi objek ketimbang subjek bagi pembangunan. Karena itu, Otonomi Khusus lahir sebagi pengakuan atas kekeliruan masa lalu, termasuk pelanggaran HAM yang terjadi sekian lama.

Tapi, Otonomi Khusus dipandang gagal dijalankan secara komprehensif. Alih-alih meng-Indonesia-kan Papua, tapi justru semakin melahirkan bentuk-bentuk perlawanan dan penentangan.

Meski perlawanan dan penentangan terkadang sebagai bentuk kritisisme, tidak jarang juga perlawanan dan penentangan itu mengarah pada keinginan untuk memerdekakan diri sebagai bentuk hilangnya kepercayaan terhadap keseriusan kekuasaan dalam menjalankan amanat Otonomi Khusus.

Tentu saja persoalan HAM adalah salah satu dari serangkaian polemik yang senantiasa menganga. Namun di situlah inti dari persoalan itu sendiri. Sebab pengabaian atas hak-hak dasariah sama halnya dengan pengabaian atas fondasi dasar kehidupan.

Sebagai pihak yang diberi amanah oleh rakyat, maka kekuasaan dengan segala instrumennya berhak memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan. Bukan sebaliknya, menambah deretan persoalan baru yang pada ujungnya hanya menyisakan ketidakpastian.

Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang tekad pemerintah yang tidak pernah berhenti untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat pun menjadi sorotan. Mengingat selama periode kepemimpinannya, penyelesaian HAM di Papua cenderung berjalan lambat untuk tidak menyatakan sama sekali nihil. Tapi sebagai sebuah pernyataan politis, tentu saja tekad tersebut patut diapresiasi.

Ruang-ruang penyelesaian akan senantiasa terbuka lebar, dan pengakuan atas kelemahan dan kelambanan pun cukup membuktikan jika pemerintah pada dasarnya memahami fakta dan kenyataan dan tidak menutup mata atas apa yang sesungguhnya sedang menggejala.

Berbagai laporan dan pengaduan atas pelanggaran HAM di Papua sudah tidak bisa lagi dimungkiri. Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan serta Komnas HAM sebagai perwakilan pemerintah pun menyatakan hal yang sama.

Meski demikian, respons penyelesaian masih terbentur dinding paradigma. Pemerintah Pusat dan Masyarakat Papua berada dalam 2 (dua) kutub yang berbeda, bahkan berjauhan untuk sekedar menjalin komunikasi. Pada gilirannya, perbedaan yang semakin mengkristal telah menempatkan kedua belah pihak dalam suasana yang tidak lagi sepenuhnya saling percaya.

Publik pun diperhadapkan pada informasi yang asimetris dengan keyakinan dan persepsi masing-masing. Bahkan sudah pada titik dimana masing-masing kehilangan kepercayaan. Pengabaian atas prinsip hak asasi, baik politik, sosial, ekonomi maupun budaya, tidak lagi menjadi perhatian utama melebihi ancaman yang dihadirkan satu sama lain.

Pemerintah Pusat memandang riak-riak kritis sebagai ancaman, sehingga layak diantisipasi. Sementara suara Papua hadir sebagai ekspresi kritisisme atas berbagai kebijakan yang tidak memihak, dan memandang respons pemerintah sebagai sebentuk pelanggaran atas hak asasi.

Jika ditelusuri lebih jauh, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sesungguhnya mengandung pengakuan tentang kelemahan negara (kekuasaan) dalam merespons persoalan hak asasi itu sendiri.

Sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat unversal dan langgeng, maka perlindungan dan penghormatan terhadapnya sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan keduanya mendahului aksi dan kebijakan apapun, apalagi itu sekedar didasari atas persepsi dan paradigma yang sepihak (subjektif).

Tuntutan atas hak-hak dasariah yang selama ini mengundang persoalan dan melahirkan penentangan seharusnya menjadi concern bersama untuk dikanalisasi.

Tentu saja tuntutan tersebut memerlukan pemaknaan yang komprehensif, mengingat hak-hak dasariah juga merupakan bagian dari perwujudan sebagai bagian dari tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sampai pada titik tertentu, pemaknaan terhadap hak asasi manusia inilah yang masih berada dalam tegangan persepsi yang saling berbeda. Sebagai sebuah nilai, HAM seringkali berhadapan dengan instrumen perundang-undangan yang tampak hitam putih dengan berbagai argumentasi positivistik yang melatarinya.

Sementara itu, nilai-nilai HAM belum sepenuhnya dimaknai secara sama. Terkadang bahkan sebagai penghambat kebijakan.

Dalam konteks inilah, kesejatian HAM harus dimaknai secara utuh, tidak parsial, apalagi berada pada pihak tertentu untuk memuluskan kepentingan pragmatisme kekuasaan. Berbagai kebijakan kekuasaan yang menyisakan kekerasan dan korban dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari aparatus pertahanan dan keamanan, harus disudahi demi masa depan Papua sebagai Tanah Damai.

Bukankah tujuan itu yang hendak dicapai melalui pernyataan Presiden Joko Widodo yang menegaskan bahwa pemerintah mempunyai komitmen yang sama bahwa penghormatan perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi pilar penting bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih beradab, lebih tangguh dan lebih maju?

Pernyataan yang cenderung retoris itu memerlukan pengejawantahan yang subtil dan detail dalam kebijakan. Berbagai polemik tentang keberadaan pasukan Non-Organik yang tidak berhenti bertambah harus diselesaikan dengan cara-cara yang bijak.

Bukan untuk sama sekali menafikan pentingnya rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, tapi keberadaan pasukan non-organik tersebut memerlukan penjelasan yang lebih mencerahkan bagi masyarakat Papua.

Berbagai kejanggalan atas penyelesaian kasus demi kasus pun memerlukan keterbukaan dari berbagai pihak. Demikian juga keterlibatan pihak-pihak yang selama ini berkepentingan dan terkait langsung dengan mereka yang menjadi objek kekerasan dan pengabaian atas hak-hak dasariah. Memang tidak pernah mudah melahirkan solusi dalam waktu singkat.

Tapi paling tidak, membuka ruang kritisisme dan komunikasi yang intensif akan melapangkan jalan bagi lahirnya solusi-solusi yang bisa diterima bersama.

HAM adalaha milik semua individu, tanpa memandang latar belakang keberadaannya. Sejauh ia adalah manusia ciptaan Tuhan, sejauh itu pula hak-hak dasariah melekat pada dirinya.

Oleh karena itu, menyelesaikan persoalan HAM di Tanah Papua tidak bisa dengan cara menutup kanal-kanal suara yang sesungguhnya menjadi sumber kegelisahan dan keprihatinan. Pendekatan kemanusiaan harus didahulukan di atas pendekatan apapun, sebab nilai HAM menghubungkan kepentingan antar sesama manusia, bukan kekuasaan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #yorrys-raweyai  #dpd  #papua  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Transformasi Laut Cina Selatan

Oleh Radhar Tribaskoro (Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)
pada hari Selasa, 03 Des 2024
Baru-baru ini rencana kerjasama pembangunan (Joint Development) Indonesia - China di Laut Cina Selatan mendapat kritik lagi. Kali ini dari Majalah The Economist yang cukup berwibawa. Majalah itu ...
Opini

Nausea Fufufafa, Distopia Indonesia

Rakyat Indonesia bakal menderita nausea berkepanjangan, jika Fufufafa terus menjadi orang nomor dua. Nausea adalah istilah medis yang merujuk pada perasaan tidak nyaman, pening kepala dan mual perut, ...