Oleh Swary Utami Dewi pada hari Jumat, 31 Mei 2024 - 19:41:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Surat untuk Buya Ahmad Syafii Maarif

tscom_news_photo_1717159295.jpg
SWARY UTAMI DEWI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Assalamualaikum. Buya, hari ini, 31 Mei 2024. Seharusnya Buya berulang tahun ke-89. Tapi dua tahun lalu, 27 Mei 2022, Buya sudah berpulang kembali ke Allah, Sang Pemilik Sejati Kehidupan.

Biasanya setiap Buya ulang tahun, aku akan mengirim pesan singkat ke Buya. Nomor WhatsApp (WA) Buya 0811xxxx42 masih ada di handphone-ku; Nomor yang selama bertahun-tahun sejak pertengahan 2000 kerap kusapa. Salah satunya jika Buya ulang tahun. Ini tahun ketiga aku tidak lagi mengirim ucapan ulang tahun ke Buya: 2022, 2023 dan 2024. Kan, Buya sudah bersama Allah. Istilah Mas Komaruddin Hidayat, Buya sudah "pulang kampung".

Buya semoga masih ingat jika saat-saat tertentu saat aku resah melihat kondisi negeri, aku mengirim WA ke Buya. Sekedar curhat-curhat ringan tentang kondisi Indonesia. Dan waktu itu, memang kondisinya berbeda. Yang keras dan kencang adalah isu toleransi dan pluralisme. Dan Buya biasanya akan mengatakan, "Jalan terus, Tami. Teruslah berbuat kebaikan. Jangan pedulikan politik."

Dan aku memang terus berjalan, Buya, meneruskan minatku untuk masyarakat marginal, untuk isu lingkungan, untuk isu keragaman Indonesia, untuk isu budaya. Lalu Buya, dipanggil Allah 27 Mei 2022. Dan aku pun berhenti mengirim pesan singkat.

Aku masih ingat, sewaktu mendengar Buya wafat, aku menangis cukup lama. Tapi aku dan banyak orang tahu, jika Buya bahagia di sisi Tuhan. Memang sudah waktunya Buya berpulang. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa menolak maut. Al Fatihah.

Tapi, apakah Buya tahu apa saja yang terjadi sesudah Buya tiada? Ada banyak hal, kejadian, kegamangan dan kebingungan terjadi di negeri ini. Bukan lagi hanya soal politik toleransi dan pluralisme. Tapi ada pergesekan keras antara politik berlandaskan etika versus prosedural. Juga ada titik rumit ketika keluar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia, yang kemudian dinilai melanggar etika.

Tapi semua proses berikutnya tetap bisa berjalan. Ada kritik terhadap survei, politik uang, bantuan sosial, cawe-cawe dan lain-lain. Banyak pokoknya. Bikin gemas dan cukup melelahkan. Ada pula serangkaian sidang di MK yang hasilnya diputuskan dengan perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi. 5:3.

Akhirnya, ada pengesahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang menang Pemilihan Presiden. Selanjutnya, masih "wait and see" seraya terus berharap adanya kebaikan dan perbaikan untuk negeri ini.

Begitulah Buya... Hal-hal kontroversial di luar nalar banyak membuat Tanah Air bergetar, disertai kegamangan dan kecemasan. Para guru besar dan akademisi serta kelompok-kelompok masyarakat madani gencar bersuara. Aku sendiri ikut aktif di beberapa kegiatan untuk mengulik isu-isu terkait. Kadang rasanya lelah, Buya. Tapi Buya pernah mengatakan, "Jangan pernah lelah untuk berbuat kebaikan."

Jadi Buya, meski bagi orang-orang tertentu ada isu yang dianggap hilang sesaat, atau tak masalah, bagiku tetap ada hal yang harus jadi perhatian bersama. Soal etika, integritas dan trust. Juga ada soal korupsi. Aku terbayang, entah bagaiman murkanya Buya jika tahu tak masuk akalnya korupsi yang terbongkar akhir-akhir ini.

Ada yang hingga 271 triliun. Konon, ada yang lebih dari itu. Dan banyak yang dilakukan dengan cara mengacak-acak sumber daya alam Indonesia. Padahal, dalam konstitusi disebutkan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk kesejahteraan rakyat"; Bukan untuk diacak-acak, bukan untuk segelintir orang yang serakah.

Dan ini bukan yang pertama, Buya. Di sana-sini masih banyak yang ilegal-ilegal serupa, yang anehnya kerap menjadi ajang pamer-pamer di media sosial tanpa malu-malu. Ah, aku jadi teringat Buya yang selalu memberi keteladanan tentang kesederhanaan. Sifat zuhud dan sederhana Buya memang susah dicari tandingannya.

Oya Buya, tentang korupsi ini, aku ingat banyak tulisan dan pernyataan Buya yang mengkritik keras tindak korupsi. Sewaktu ada upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Buya bersuara lantang. "KPK itu wajib dibela, diperkuat, tetapi KPK itu bukan suci. Harus diingat kalau KPK tidak suci, tetapi ketika akan ada yang melemahkan, KPK wajib dibela.” Demikian kurang lebih Buya berkata. Tahukah Buya, sejak itu lembaga tersebut memang makin jadi catatan dan kritik banyak pihak. Entah ke mana gaungnya kini.

Buya, terkadang aku berbincang dengan pengemudi online, yang mengeluhkan tentang harga-harga yang semakin naik, termasuk sembako. Jika sudah naik, maka susah turun. Maka ada seorang supir yang bercerita, untuk makan, yang dilakukannya adalah dengan menyantap menu sederhana itu-itu saja. Rasa bosan terhadap menu yang sama berhari-hari dikalahkan oleh keharusan makan untuk bertahan hidup. Bagaimana dengan masyarakat lain yang tidak punya sandaran hidup ya, Buya? Ah, entahlah.

Lalu ada pula kemarin ramai "ger-geran" di dunia pendidikan, utamanya biaya pendidikan tinggi (PT), yang menjadi sorotan karena dirasakan mahal dan tidak terjangkau bagi golongan tertentu. Dari satu webinar yang baru-baru ini kuikuti, ada pembicara yang menyatakan hanya total 13% rakyat Indonesia yang sudah menempuh pendidikan tinggi.

Sebelumnya aku menemukan data dari Kementerian Dalam Negeri, yang dikutip suatu media, bahwa jumlah penduduk Indonesia yang sudah masuk PT per 31 Desember 2022 untuk tingkat Diploma-1 dan Diploma-2 sebesar 1,11 juta orang atau 0,4% dari total penduduk Indonesia.

Lalu Diploma-3 sebanyak 3,56 juta orang atau 1,28%. Sementara Strata-1 sebanyak 12,44 juta orang atau 4,47%. Strata selanjutnya lebih sedikit lagi. Masih kecil ya, Buya? Sementara, pendidikan yang baik adalah salah satu kunci dari kemajuan bangsa. Kapan persoalan pendidikan ini bisa kita tuntaskan?

Juga ada berita beredar tentang jutaan generasi muda yang tak punya pekerjaan alias menganggur. Jikapun ada pekerjaan, menurutku, mereka bisa jadi menggeluti pekerjaan semu (pseudo) seperti menjadi pedagang kaki lima, pengemudi online dan sejenisnya. Kata seorang pengemudi online berusia 29 tahun yang kutemui beberapa hari lalu, ia lulusan Fakultas Hukum di salah satu universitas negeri di Sumatra. Karena belum dapat pekerjaan, ia menjadi pengemudi online. Yang penting baginya bisa bertahan hidup.

Belum selesai sampai di sini, Buya. Sekarang ada lagi "aturan" baru. Katanya untuk perumahan. Ada potongan wajib tiap bulan baik bagi pegawai negeri dan swasta. Sementara, rata-rata pengembang perumahan terus bisa menentukan harga rumah begitu tinggi tidak terkendali. Rumah menjadi sesuatu yang bagi banyak orang bisa jadi hanya impian belaka.

Padahal, pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak itu merupakan hak konstitusional warga negara. Tapi nyatanya masih banyak yang sulit mendapatkan haknya ini; Sementara banyak hambatan bagi negara, melalui pemerintah, untuk mau dan mampu memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Banyak lagi Buya, hal-hal yang masih harus diperbaiki.

Yang jelas, hatiku miris melihat kehidupan masyarakat bahwa yang semakin bawah. Sementara ada super-super konglomerat teratas, yang jumlah kekayaannya bisa meningkat fantastis dalam hitungan bulan. Memang betul kata Buya, bahwa Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi sila yang paling susah diwujudkan di Indonesia.

Begitulah Buya... Di sela-sela upaya dan penantian untuk Indonesia yang lebih baik, aku dan Bang Simon, akhirnya berhasil menerbitkan puluhan tulisan tentang Buya. Bukan untuk memuja. Tapi untuk mengingatkan kembali kita semua akan pikiran, perasaan, sikap dan tindakan Buya.

Buku ini kami beri judul Buya Ahmad Syafii Maarif: Cahaya Keteladanan Umat dan Bangsa. Buku itu terbit beberapa hari lalu. Jika ini boleh disebut sebagai hadiah untuk Buya, boleh jadi ini hadiah terbaik dariku dan Bang Simon. Semoga Buya tersenyum dari sana melihat kehadiran buku bersampul hijau telur dengan gambar Buya mengenakan batik sederhana.

Ah Buya, masih banyak yang sebenarnya ingin kuceritakan. Tapi kusimpan dulu ceritaku yang lain. Karena terus-terang, aku menulis ini sambil sesekali menghapus air mata; Air mata kerinduan akan sosok negarawan yang lurus, baik dan tegas serta keras pada penyelewengan dan kemungkaran. Aku yakin, Buya di sana juga terus berharap negeri ini akan lebih baik. Doakan selalu kami ya, Buya.

Dan akhirnya, selamat ulang tahun, Buya. Cahaya kebaikanmu tetap akan bersinar terang.

Wassalam,
Tami

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Fenomena Tindak Kekerasan Terhadap Insan Pers Semakin Meresahkan

Oleh Jacob Ereste
pada hari Rabu, 24 Jul 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tindak kekerasan terhadap wartawan tampaknya semakin brutal dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang mungkin merasa sangat terganggu oleh fungsi kontrol yang dilakukan ...
Opini

Antara Jokowi dan Erdogan, dari Visi Mulia hingga Ambisi Berkuasa

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Jokowi yang pertama kali terpilih sebagai Presiden Indonesia pada 2014 dan kembali terpilih pada 2019, juga datang dengan janji untuk memperbaiki infrastruktur, ...