JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Praktisi Hukum Prof Henry Indraguna menilai perlu adanya evaluasi dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia secara maksimal.
Terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tindak pidana, menurut Prof Henry, hal ini memenuhi azas ultimatum remedium yang bertujuan menjerat kasus korupsi dan asetnya.
Namun, sayangnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini belum berhasil disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024. Sekalipun sudah masuk dalam Prolegnas atau Program Legislatif Nasional periode tersebut.
Peof Henry mengharapkan agar RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana ini sebagai bagian dari upaya serius dan tanpa kompromi dalam upaya pemberantasan korupsi, dapat segera disahkan.
Ini karena tindakan korupsi adalah kejahatan yang ekstra ordinary yang merusak seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Juga telah menghambat jalannya pembangunan, merusak perekonomian, dan juga menyengsarakan rakyat.
“Dengan memprioritaskan pengesahan undang-undang perampasan aset tindak pidana ini sangat penting, karena ini sebuah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara dan bisa memberikan efek jera bagi pelaku korupsi,” tegas Prof Henry kepada wartawan, Senin (30/9/2024).
“Saya berharap pemerintah dan parlemen, dapat segera membahas dan menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana pada periode Anggota DPR RI 2024-2029 yang pada besok, Selasa (1/10/2024) dilantik dan diambil sumpah jabatannya," ujar Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Doktor Ilmu Hukum dari UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini menekankan, penguatan regulasi dan payung hukum ini diperlukan mengingat masih banyak pelaku tindak pidana korupsi di tanah air yang tidak pernah jera dan malah cenderung meningkat indeks korupsinya.
Prof Henry mengingatkan kepada seluruh penyelenggara negara untuk tidak lips service dan retorika dalam meneriakkan slogan "Kalau Bersih, Kenapa Harus Takut" hanya untuk konsumsi politis dan pencitraan belaka.
“Saya mengajak kita semuanya, mari kita bersama-sama mencegah tindak pidana korupsi dan bisa memberikan efek jera kepada para pejabat yang melakukan korupsi,” tutur Henry yang juga Politisi Golkar ini.
Dari pandangan Prof Henry, dengan adanya RUU ini, perampasan aset tindak pidana dimungkinkan tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi tentang pernyataan kesalahan dan pemberian hukuman bagi pelaku.
RUU ini, kata dia, juga membuka kesempatan untuk merampas segala aset yang diduga sebagai hasil tindak pidana, dan aset-aset lain yang patut diduga akan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Prof Henry mengamini laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait tren kasus korupsi yang meningkat dari tahun ke tahun, selama lima tahun terakhir.
ICW merilis laporan hasil pemantauan tren korupsi di mana jumlah kasus korupsi meningkat di banding tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan rilis ICW, kasus korupsi tahun 2019 sebanyak 271 kasus dengan 580 tersangka. Tahun 2020 sebanyak 444 kasus dengan 875 tersangka. Lalu tahun 2021 sebanyak 533 kasus dengan 1.173 tersangka.
Di tahun 2022 sebanyak 579 kasus dengan 1.396 tersangka. Pada tahun 2023, terjadi lonjakan kasus korupsi yang tercatat 791 kasus dengan 1.695 tersangka.
Dia menyebutkan temuan ICW sebagai bahan evaluasi pemerintah dan lembaga penegak hukum lainnya untuk membuat strategi lebih efektif mencegah dan memberantas korupsi.
Menyikapi naiknya angka kasus korupsi tersebut, Profesor dari Unissula Semarang ini meminta semua pihak harus kembali fokus dalam masalah pemberantasan korupsi, karena saling terkait satu dengan yang lainnya.
RUU Perampasan Aset Dibahas Legislator 2024-2029
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut RUU Perampasan Aset menjadi pembahasan DPR di periode selanjutnya atau DPR periode 2024-2029.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan DPR periode 2019-2024 tengah berfokus pada hal-hal yang harus diselesaikan sebelum purna tugas pada Oktober mendatang.
"Ini waktunya pendek sekali, nanti akan ada anggota DPR periode selanjutnya," kata Puan di Gedung DPR, pada Selasa lalu (10/9/2024).
Politisi senior PDI Perjuangan ini mengatakan DPR periode saat ini akan berupaya semaksimal mungkin menuntaskan produk legislasi yang sebelumnya telah dibahas.
"Soal RUU Perampasan Aset kita tunggu sampai pergantian periode selanjutnya," kilahnya.
Sejurus dengan Puan, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyatakan, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak dapat disahkan di sisa masa jabatan DPR periode 2019-2024.
Politikus Partai Nasdem ini mengeklaim, keterbatasan waktu merupakan kendala utama untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Sahroni menyebutkan, semua fraksi di DPR memerlukan waktu yang cukup untuk membahas secara mendalam berbagai aspek terkait RUU tersebut.
"Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) ingin RUU Perampasan Aset segera diselesaikan. Tapi karena masa sidang tinggal beberapa hari lagi, kemungkinan besar pembahasan akan dilanjutkan pada sidang DPR periode berikutnya," tegas Wakil Rakyat Dapil DKI Jakarta ini.