JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menjadi sorotan publik akibat dua orang incarannya menjadi daftar pencarian orang atau DPO. Kedua orang yang dimaksud yakni Harun Masiku dan Nurhadi.
Harun Masiku merupakan tersangka kasus pergantian antar waktu atau PAW anggota DPR yang juga mantan Caleg PDIP menjadi DPO sejak 27 Januari 2020. Sementara mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara di MA pada 16 Desember 2019 lalu menjadi DPO sejak 13 Februari 2020.
Teropong Juga:
KPK YakinBisa Tangkap Harun Masiku
Berbagai prasangka muncul di masyarakat akibat lembaga antirasuah itu hingga kini belum menemukan kedua koruptor itu. Bahkan ada yang membandingkan Kasus Nazarudin mantan Bendahara Partai Demokrat dalam kasus suap wisma atlet yang lari ke negara lain namun KPK bisa menangkapnya.
Ahli hukum pidana Suparji Achmad pun mempunyai catatan sekaligus menilai kedua koruptor tersebut buron atau menjadi DPO karena faktor politis. Untuk DPO Harun Masiku, Suparji menjelaskan bahwa yang bersangkutan memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sebab, Harun merupakan mantan Caleg PDIP.
Sehingga, lanjut Suparji, ada kekhawatiran akan terungkap tabir dalam proses PAW anggota DPR apabila Harun Masiku ditangkap serta dihadirkan di persidangan.
"Cara mekanismenya di lindungi, disembunyikan atau sudah tidak ada. Itu lah karena memang dikhawatirkan aroma tidak sedap terbongkar melalui Harun Masiku," ujar dalam diskusi MNC Trijaya bertajuk "Memburu Buron KPK" Suparji Achmad di Hotel Ibis Tamarin Jakarta Pusat, Jumat (6/3/2020).
Untuk DPO Nurhadi, Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini mengatakan Nurhadi orang lama di MA dan sterilisasi penanganan perkara di MA tidak terjadi. Sehingga aroma permainan perkara di MA khawatir terbongkar.
"Itu khawatir merebak kemana-mana. Nurhadi sebagai mantan hakim, maka posisinya dilindungi belum tertangkap. Sehingga ada faktor politiknya," katanya.
Suparji juga melihat ada kejanggalan dalam proses penetapan tersangka Nurhadi karena tidak ada satu bukti yang kuat. Antara lain dipaparkan Suparji bahwa Nurhadi tidak pernah diperiksa sebagai tersangka, tidak ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), kasusnya murni perkara perdata dan bukan kasus gratifikasi.
"Tapi jadi pertanyaan kalau benar ngapain buron," tuturnya.
Sebab itu ia menyarankan agar Nurhadi mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangkanya. "Mekanisme praperadilan yang bisa ditempuh. Agar status tersangkanya jelas," pungkasnya. (Al)