Oleh Swary Utami Dewi pada hari Senin, 17 Jun 2024 - 20:25:21 WIB
Bagikan Berita ini :

Iduladha: Redupnya Ketakwaan dan Pengorbanan

tscom_news_photo_1718630721.jpg
SWARY UTAMI DEWI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Hari ini kita merayakan Iduladha atau Hari Raya Qurban. Umat Islam sudah mahfum bahwa peringatan Iduladha berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Perintah Allah agar Ibrahim mengorbankan putranya, diganti oleh seekor domba.

Iduladha hingga kini masih menjadi satu tradisi dan ritual teologis yang lekat dengan penyembelihan hewan kurban, yang kemudian dagingnya, dibagi-bagikan utamanya kepada fakir miskin. Idenya tentu untuk berbagi keberuntungan karena ada orang-orang yang mampu membeli atau menyediakan hewan kurban, sementara yang lain hidup dalam kemelaratan dan kesusahan. Ini tentu sangat erat kaitannya dengan "spiritualitas berkorban", diikuti dengan keikhlasan berbagi dengan sesama.

Sejalan dengan kompleksitas dan dinamika kehidupan manusia, makna dan tradisi Iduladha pun mengalami pergeseran, perluasan dan pendalaman. Tahun ini, saya menemukan makna Iduladha secara berbeda, berlandaskan keprihatinan tentang berbagai hal yang makin marak terjadi di negeri ini.

Nabi Ibrahim mengajarkan ketakwaan yang tak bersyarat pada perintah Allah untuk mengikhlaskan hal yang paling berharga bagi setiap orang tua, yakni anak. Ismail adalah anak yang ditunggu-tunggu sekian lama oleh Ibrahim dan sang istri. Anak adalah hal yang sangat berharga bagi setiap orang tua. Tapi Ibrahim menunjukkan takwa tanpa batas kepada Allah.

Selain itu, ia telah mengajarkan kepada manusia kemampuan untuk berkorban (sacrifice), bahkan untuk merelakan hal paling berharga bagi diri dan keluarga. Ajaran ketakwaan dan pengorbanan inilah yang sesungguhnya sangat kental ada pada Iduladha.

Namun sekarang ketakwaan dan pengorbanan tampak nyata semakin memudar di negeri ini -- Negeri yang memiliki penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Padahal Allah mengajarkan manusia untuk selalu bertakwa. Sewaktu kecil, guru mengaji saya dan orang tua kerap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan takwa adalah mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Misalnya, kita diajarkan untuk berbuat baik, diminta untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi, tidak memakan harta orang lain. Ini semua ada dalam Al-Qur"an, diikuti berbagai Hadis sahih, yang intinya mewajibkan kita untuk berbuat kebaikan serta menjauhi kejahatan, kezaliman, kebatilan dan berbagai bentuk kemungkaran.

Apa yang terjadi sekarang ini? Apakah kita sudah mampu menerapkan ketakwaan, seperti halnya takwa Ibrahim yang tanpa batas kepada Allah? Nyatanya, berbagai perintah Allah untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran banyak dilanggar. Perintah Tuhan hanya sekedar basa-basi untuk kemudian dipelintir, diabaikan, bahkan sengaja dilanggar, termasuk dalam konteks bernegara dan bermasyarakat sesuatu yang justru memiliki dampak sosial dan ekologis yang lebih luas.

Untuk konteks bernegara, sudah jadi rahasia umum bahwa pemaknaan dan praktik politik dan kuasa sudah banyak keluar rel. Kekuasaan cenderung menjadi modus untuk memperkaya diri dan kelompok. Kuasa sering menjadi ajang bancakan; Untuk bagi-bagi privilese dan berbagai keuntungan lainnya (terutama kekayaan). Penyelewengan dan praktik ketidakadilan tanpa malu-malu dilakukan. Etika dan moral banyak dikesampingkan.

Power sudah tidak lagi untuk tujuan-tujuan kebaikan, seperti menyejahterakan rakyat dan menjaga kedaulatan negara. Berbagai cara juga dihalalkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kuasa yang sudah digenggam tadi. Pendeknya cara berkuasa, cara mempertahankan kekuasaan serta tujuan berkuasa direduksi secara brutal menjadi untuk kepentingan diri dan golongan.

Tentang hal ini, peringatan Allah sangat tegas. Lihatlah Al-Qur"an Surat Asy-Syura ayat 42: "Sesungguhnya jalan untuk menyatakan kesalahan dan perbuatan dosa hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa mengindahkan kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih atas perbuatan mereka di hari akhirat kelak."

Korupsi juga semakin merajalela. Hak rakyat kerap menjadi milik pribadi atau kelompok. Padahal Allah sudah mengingatkan dalam Al-Qur"an Surat An-Nisa ayat 29: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar)."

Surat Al-Baqarah ayat 188 juga mengingatkan manusia tentang tindakan koruptif tadi: "Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.

Tindak koruptif ini juga merambah ke praktik tidak sehat dari pengelolaan sumber daya alam dan distribusi keadilan, yang berujung pada kerusakan ekologis dan kemiskinan serta kesenjangan sosial. Ambil contoh isu tambang yang sedang jadi perbincangan beberapa bulan terakhir. Korupsi nikel mencapai jumlah fantastis, Rp 271 triliun.

Pengelolaan tambang yang ugal-ugalan semakin banyak memiskinkan rakyat setempat. Sebagai contoh, Katadata (3 Agustus 2023) menyebutkan hampir seluruh provinsi yang berfokus pada pertambangan mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022 hingga Maret 2023. Data ini mengacu pada laporan kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023. Suatu ironi yang luar biasa.

Padahal, Allah jelas telah mengingatkan manusia untuk tidak berbuat kerusakan di bumi dan berbuat kebaikan.
Dalam Surat Al-A’raf ayat 56 tertulis: ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah (Allah Swt.) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut. Sesungguhnya rahmat Allah Swt. amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Selain pudarnya ketakwaan, hakikat pengorbanan yang diajarkan Ibrahim dan keluarga juga semakin dilupakan. Manusia seakan tak mampu "mengorbankan" ambisi pribadi dan kelompok untuk berkuasa. Manusia tak mampu "merelakan" dan meninggalkan hawa nafsu yang semakin banyak menghancurkan manusia dan kemanusiaan.

Malah yang semakin mencuat adalah berhala-berhala kuasa dan harta yang cenderung ingin dicapai dengan menghalalkan segala cara. Yang makin berkembang kini justru akhlak mazmumah (yang tercela), bukan mahmudah. Padahal umat Islam tahu bahwa yang tercela pasti mendatangkan kemudharatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Tapi tetap saja kealpaan itu dilakukan, bahkan kini secara berjamaah dan terang-terangan.

Lantas, apakah Iduladha penanda ketakwaan dan pengorbanan dari Ibrahim dan keluarga yang setiap tahun dirayakan, hanya tinggal menjadi simbol dan status, terbatas untuk menunjukkan kemampuan "bagi-bagi", sesudahnya urusan mudharat jalan terus? Entahlah. Kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
Dompetdhuafa X TS : Qurban
advertisement
Lainnya
Opini

Kontrol Publik "Dilemahkan", Memuluskan Jalannya Politik Dinasti dan Pilkada Suram

Oleh Agusto Sulistio - Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR
pada hari Sabtu, 22 Jun 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Usai pemilihan presiden (pilpres) 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden ...
Opini

Bukannya Ciptakan Lapangan Kerja Baru, Investasi STARLINK Berpotensi Ciptakan Pengangguran

Indonesia terus digempur oleh asing lewat produk unggulan berbasis teknologi. Salah satunya, STARLINK. Sebuah produk layanan internet berkelas dunia difasilitasi satelit. Berkecepatan tinggi dan ...