JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Penulis teringat sepuluh tahun lalu berdiskusi dengan legenda aktivis pergerakan A Rahman Tolleng. Ia mengatakan, “kalau orang bodoh berkuasa berpotensi besar menjadi fasis”.
Bung Tolleng ketika itu terlihat tanpa pretensi mendukung atau menolak euforia kehadiran Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pemiu 2014 yang dikategorisasi wong ndeso, sederhana, dan orang baik. Namun ia menegaskan politik Indonesia ke depan diliputi awan mendung. Oligarki semakin berani masuk arena politik, sementara para politikus miskin ide dan mengabaikan integritas. Tidak aneh kekuatan uang kaum oligarki bisa mendikte kehidupan kepolitikan kita.
Kini rasanya kecemasan tersebut terbukti nyata. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo pelembagaan politik produk reformasi 1998 porak-poranda dikalahkan oleh intervensi kepentingan yang bersifat individual atau kelompok. Pelembagaan politik ini meliputi semua unsur sistem kenegaraan dalam memperkuat konsolidasi demokrasi.
Partai politik lembaga untuk mengagregasi dan mengartikulasi kehendak rakyat diselewengkan sebatas selera elite pengurus pusat. Partai politik kemudian berjalan ke arah “personalisasi” nihil platform dan program pembeda antar partai politik. Keadaan sangat miris yang mengakibatkan hampir semua ketua umum partai politik tersandera kekuasaan.
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) lembaga mandatori Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraa negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dikerdilkan melalui UU No. 19 tahun 2019. Paling memalukan, Mahkamah Konstitusi (MK) benteng konstitusi justru merendahkan diri untuk mengakomodir anak Presiden Jokowi.
Banyak yang terhipnotis dengan kepiawaian Jokowi melakukan cawe-cawe. Elite partai politik patuh ibarat kerbau dicocok hidungnya, tidak peduli indeks demokrasi melorot tajam. Sindiran dunia internasional yang menilai pemerintahan Presiden Jokowi menjalankan “autocratic legalism” seolah-olah tutup mata.
Padahal, model kekuasaan seperti ini sama persis preman jalanan bersandar pada logika adu jago dan melabrak pakem peraturan hukum yang berlaku.
Fungsi jabatan melekat pada seorang presiden dengan semua instrumen negara sudah pasti memiliki kekuasaan lebih daripada warga negara biasa lainnya. Jadi, mereka yang menganggap Jokowi jago mengatasi lawan dalam permainan catur politik, sebenarnya tidak mengerti esensi politik.
Machiavelli pemikir politik abad pencerahan Eropa yang kerap kali disalahpahami memandang politik mempunyai tujuan mulia, yakni meletakan kepentingan bersama (res publica) di atas kepentingan pribadi (res privata).
Karena itu, setiap politikus apalagi presiden adalah seorang patriotik selalu mengedepankan keutamaan (virtuous) demi kemaslahatan publik (common good). Berkaca dari pemikiran Machiavellian, realisme politik harus disandarkan kepada virtuos yang merupakan konstanta, kendati politik juga dihadapkan dengan variabel fortuna sesuatu yang tidak pasti.
Dengan demikian, tugas berat presiden terpilh Prabowo Subianto membereskan politik ala preman jalanan agar makna politik kembali sesuai esensi sebenarnya.
Arena politik dihuni mereka yang kaya gagasan, sekaligus berintegritas berani mengambil keputusan di tengah situasi sulit apapun demi kemaslahatan publik, dan bukan untuk dirinya pribadi.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #