Setelah sempat lama tak jelas tindak lanjutnya, Hadi Poernomo, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan yang juga eks Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, akhirnya kemarin diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Pengasilan (SKPN PPh) Bank Central Asia (BCA).
Hadi sendiri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014. Hadi sendiri sempat melayangkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka yang dikenakan pada dirinya. Namun di tengah jalan, gugatan praperadilan dicabut.
Kasus Hadi itu sendiri, menarik untuk dicermati, karena menjadi polemik. Lahir pro kontra seputar kasus itu. Sebagian kalangan menilai, kasus Hadi terlalu 'dipaksakan' ditarik ke ranah pidana. Kasus itu dianggap ranah hukum administrasi, bukan pidana. Yang berpendapat seperti itu salah satunya adalah Profesor Romli Atmasasmita, seorang Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Padjadjaran Bandung. Dengan tegas, Romli menyatakan kasus sengketa pajak tak bisa ditarik ke ranah pidana, kecuali memang ada bukti tangkap tangan terkait suap dalam kasus itu.
Pendapat Romli itu diungkapkannya, ketika jadi pembicara dalam sebuah diskusi bertajuk, "Solusi Sengketa Pajak: Administrasi atau Pidana?" yang digelar oleh Journalist of Law Jakarta, IG and Partner dan Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) di Jakarta, September 2014. Saat diberi kesempatan bicara dalam diskusi, Romli berpendapat dasar penarikan kasus sengketa pajak ke ranah pidana, yang menyeret eks Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, lemah.
Ia memandang, tak cukup ada petunjuk kuat bahwa Hadi melakukan pemerasan. Romli pun berpendapat, komisi antirasuah baru menduga. Sementara penetapan tersangka dalam kasus korupsi, perlu dua alat bukti kuat. Sekarang pertanyaan yang diperlu ditunggu jawabannya menurut Romli, apakah dugaaan tersebut kuat atau tidak. Romli sendiri mengaku ragu, dugaan KPK terhadap Hadi disertai petunjuk dan bukti kuat. Terlebih, belum jelas, apakah Hadi dijerat dengan pasal gratifikasi atau pasal yang mana. Namun bila memang ada unsur kesengajaan dari Hadi untuk 'menguntungkan' BCA, Hadi bisa dijerat sanksi pidana.
Namun Romli menegaskan dalam hukum pajak, sanksi yang berlaku adalah administrasi. Jadi tak bisa ditarik ke ranah pidana korupsi. Romli pun menyarankan, ke depan diperlukan pemisahan yang jelas dan tegas mengenai kapan sengketa pajak bisa dianggap sebagai kasus korupsi dan kapan itu pula itu semata administrasi. Kecuali kata Romli, dalam kasus sengketa pajak, ada tindakan penyuapan. Artinya, ada yang menyuap dan disuap. Bila seperti itu sengketa pajak berpeluang dibawa ke ranah tindak pidana korupsi.
Pembicara lainnya dalam diskusi itu, Executive Director Center For Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo menerangkan sistem perpajakan Indonesia memungkinkan terjadinya sengketa pajak antara pihak otoritas pajak dengan wajib pajak. Memang kata dia, UU Perpajakan sebagai hukum administrasi memiliki konsekuensi pidana. Tapi, dalam konteks sengketa pajak mestinya Ditjen Pajak mendahulukan pendekatan administrasi. Ia menyebut pendekatan itu sebagai primum remedium. Artinya, otoritas pajak perlu mendorong dan memberi kesempatan wajib pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT). Serta melakukan pengungkapan ketidakbenaran.
Seluk beluk kasus sengketa pajak memang belum familiar dibenak publik. Sehingga, publik pun hanya menduga-duga, bahkan begitu saja menyimpulkan. Tentang ini, ada sebuah artikel menarik, berjudul "Membuka (Kembali) Kasus Pajak BCA,"yang ditulis oleh Sunarsip, ekonom kepala di The Indonesia Economic Intelligence (IEI). Artikel itu dimuat di harian Republika edisi Kamis, 24 April 2014.
Dalam artikelnya, Sunarsip mengurai runut kronologis kasus yang kini melilit BCA dan Hadi Poernomo. Menurut Sunarsip, dalam artikelnya kasus BCA itu tak lepas dari imbas krisis moneter yang menghajar Indonesia pada tahun 1997-1998. Dampak dari krisis itu, sejumlah bank kena imbasnya. Banyak bank yang limbung, termasuk salah satunya BCA. Kala itu pemerintah memutuskan untuk menyelematkan bank-bank besar yang punya dampak sistemik. Salah satu yang coba diselamatkan adalah BCA lewat mekanisme Bank Taken Over (BTO).
Lewat mekanisme itu, pemerintah mengambil alih kepemilikan bank untuk disehatkan kembali. Maka kemudian menurut Sunarsip dalam artikelnya, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan itu lahir dipayungi oleh Peraturan Pemerintah No. 17/1999 tanggal 27 Februari 1999. Lewat BPPN itulah, pemerintah mengambil alih pengelolaan bank-bank yang masuk kategori BTO. Dalam artikelnya, Sunarsip menerangkan, bahwa konsep dasar penyehatan terhadap BTO adalah dengan cara, BPPN mengambil alih seluruh aset kredit BTO yang bermasalah atau disebut Non Performance Loan (NPL) berikut jaminannya. Tujuan dari pengambilalihan aset NPL ini tulis Sunarsip dalam artikelnya, adalah agar secara akuntansi laporan keuangan bank menjadi sehat kembali. Selain itu agar bank kategori BTO terkait bisa lebih fokus dalam menjalankan bisnis secara normal tidak diganggu lagi oleh aktivitas untuk menyehatkan kembali aset NPL-nya.
Jadi dalam kontek ini, BPPN yang punya tanggung jawab memulihkan kembali aset NPL tersebut, baik melalui restrukturisasi maupun penjualan aset NPL berikut jaminannya. Dalam artikelnya, Sunarsip menerangkan dalam kasus BCA, BPPN kemudian menjadi pemilik sekitar 92,8 persen saham bank tersebut. Total injeksi obligasi rekap yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan bank-bank tersebut yang berada dalam proses 'penyehatan' BPPN, sekitar Rp 430 triliun. Nilai itu untuk mengganti aset NPL yang diambil alih BPPN yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 553 triliun. Tapi transaksi peralihan aset NPL beserta injeksi obligasi rekap ini, menurut Sunarsip dalam artikelnya berimplikasi pada perpajakan. BCA, adalah salah satu yang kena implikasinya.
Dijelaskan Sunarsip, akibat krisis ekonomi tahun 1998, BCA mengalami kerugian fiskal Rp 29,2 triliun. Lalu berdasarkan UU Nomor 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 117/1999 dan Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 31/1999, BCA dapat menggunakan kerugian fiskal tersebut sebagai kerugian yang dikompensasikan dengan penghasilan atau tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 tahun berikutnya.
Cerita pun berlanjut. Sejak 1999, BCA melaporkan laba fiskal 1999 tercatat Rp 174 miliar. Tapi pemeriksaan pajak yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) pada 2002 melalui Direktur PPh kemudian mengoreksi laba fiskal BCA pada 1999 itu. Laba fiskal dikoreksi dari Rp1 74 miliar menjadi Rp 6,78 triliun. Nah, menurut Sunarsip dalam artikelnya, dalam koreksi laba fiskal tersebut terdapat sekitar Rp 5,77 triliun yang oleh BCA disebutkan sebagai aset NPL yang dialihkan ke BPPN melalui transaksi jual beli. Pihak BCA sendiri berpendapat, karena aset NPL berada di tangan BPPN, maka segala hak yang timbul dari aset NPL tersebut mestinya menjadi kewenangan BPPN. Termasuk hasil recovery atas aset tersebut.
Dalam artikelnya, Sunarsip mengungkapkan, pada tahun 2003, terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp 3,29 triliun. Lalu seluruh hasil penjualan tersebut menjadi milik BPPN. Menurut pihak BCA, karena hasil recovery asset tersebut masuk ke BPPN, maka tak ada PPh yang harus dibayar oleh BCA. Tapi kata Sunarsip dalam artikelnya, pemeriksa pajak DJP pendapatnya berbeda. Pihak DJP berpendapat transaksi aset senilai Rp 5,77 triliun tersebut dianggap sebagai penghapusan piutang macet. Dengan begitu hasil dari recovery asset harusnya dicatatkan sebagai penghasilan. Karenanya pihak DJP menganggap BCA masih memiliki utang pajak. Kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan itu, DJP kirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ke BCA. Lalu BCA meresponnya dengan mengajukan keberatan kepada DJP atas koreksi laba fiskal itu.
Dalam kontek ini tulis Sunarsip, ada perbedaan sudut pandang antara BCA dan DJP terkait dengan koreksi laba fiskal tersebut. Perbedaan sudut pandang itu kemudian dibawa melalui proses di Pengadilan Pajak. Diberitakan Pengadilan pajak menerima banding yang diajukan oleh BCA tersebut. Maka, Sunarsip pun coba menyimpulkan.
Bila melihat kronologis kasus BCA, terlihat sekali kasus pajak itu bermula karena adanya perbedaan tafsir terkait status dan perlakuan terhadap suatu aset bank BTO. Bahkan menurut Sunarsip, perbedaan tafsir ini, tidak hanya terjadi antara DJP selaku fiskus dengan wajib pajak dalam hal ini BCA, tetapi di internal DJP sendiri. Di internal DJP juga ada perbedaan, baik antara Dirjen Pajak kala itu Hadi Poernomo dengan Direktur PPh. Ataupun antara Hadi dengan penggantinya Darmin Nasution. Sunarsip pun, tak mau menduga-duga, apa yang sebenarnya terjadi di balik kasus BCA itu. Dalam artikelnya, ia meminta semua pihak harus menghormati proses hukum yang tengah berjalan.
Seperti kata Sunarsip, kita tunggu saja, seperti apa muara dari pusaran polemik kasus BCA. Tidak perlu, disertai syakwasangka berlebihan. Biarkan tangan hukum bekerja profesional dan transparan. Sembari kita mencermatinya dengan kritis.(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #korupsi pajak #kasus bca #hadi poernomo