Merinding melihat dan mendengar video yang muncul di salah satu group WA. Sekelompok orang santri Lebak Banten dengan membawa bambu runcing, pedang, bahkan senapan angin (air rifle) menyatakan tekad bersama untuk membela ulama, agama dan NKRI melawan kecurangan Pemilu yang merugikan pasangan Prabowo Sandi. Bunyi tekad tersebut adalah:
"Assalamu "alaikum Wr. Wb.
Kami segenap santri Lebak Banten
Siap mengawal perjuangan para Ulama
Dalam memenangkan Pilpres Prabowo Sandi
Dan kami tidak ridlo dunia akherat
Apabila dicurangi, dan kami siap melawan kecurangan
Meskipun harus meneteskan darah penghabisan
Demi Agama dan NKRI
Anda curang, kami siap perang
Berenang dalam titik darah penghabisan
Takbiir...Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar..".
Tentu kita maknai konstruktif bukan "perang" sebenarnya dengan bambu runcing dan senapan angin. Atau radikalisme. Akan tetapi itu simbolisasi saja dari tekad untuk siap melawan kecurangan.
Masalah kecurangan Pemilu khususnya Pilpres sedang mendapat sorotan. Terlalu banyak indikasi. Persoalan berada di area apakah kecurangan itu terstruktur, sistematik dan masif atau tidak. Sebagian masyarakat khususnya umat Islam termasuk para ulama melihat kecurangan tersebut terstruktur, sistematik, dan masif sebagaiman tercermin dari konsiderans putusan Ijtima Ulama dan Tokoh III baru baru ini.
Perlawanan terhadap indikasi kecurangan mulai masif dari opsi langkah hukum hingga ancaman apa yang dipopulerkan "people power". Terhadap ancaman ini Pemerintah mulai gerah bahkan menyatakan bahwa people power adalah makar. Tokoh, pakar, dan elemen masyarakat menyatakan bahwa people power adalah konstitusional. People power adalah jalan terakhir jika kecurangan yang sudah jelas masih tidak diakui atau diproteksi. Sementara hukum sayangnya tidak independen. Dapat digunakan sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan politik.
Tekad santri lebak Banten bukan sekedar people power akan tetapi lebih keras lagi yakni pernyataan perang "Anda curang, kami siap perang..!"Tekad seperti ini semestinya menjadi perhatian serius dari KPU, Bawaslu, atau Pemerintah, betapa menggeloranya di masyarakat semangat perlawanan terhadap kecurangan tersebut. Karenanya semestinya penyelenggara Pemilu terbuka untuk mengoreksi diri dan mengeliminasi berbagai kecurigaan publik tetang curangnya Pemilu.
Kejengkelan publik sangat nyata. Tak bisa dihadapi dengan ancaman tindakan represif. Harus difikirkan jalan keluar bersama rakyat dan bangsa. Termasuk kemungkinan KPU menghentikan penghitungan, lalu audit forensik, atau audit finansial. Hal ini dalam rangka membangun kepercayaan rakyat Indonesia kembali bahwa Pemilu ini siap dijalankan dengan jujur dan adil. Bila tidak, tekad santri Lebak Banten ini akan bergaung dan menggetarkan hati kita semua.
"Anda curang, kami siap perang.."
Bandung, 6 Mei 2019 (*)