JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Komisi Kepemiluan (Komisi II) DPR Guspardi Gaus merekomendasikan ambang batas pencalonan kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) diturunkan. Menurutnya, penurunan ambang batas membuka peluang bagi masyarakat agar dapat memilih lebih banyak lagi calon dalam Pilkada.
"Artinya dengan diturunkannya ambang batas persyaratan pencalonan kepala daerah akan makin membuka peluang kepada para kandidat calon bupati, wali kota, dan gubernur," kata politikus Partai Amanat Nasional ini saat dihubungi, Ahad, 2 Agustus 2020.
Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa partai politik atau gabungan parpol bisa mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Menurut Guspardi, persyaratan yang disebutkan dalam Undang-undang Pilkada sebesar 20 persen dinilai terlalu berat sehingga memunculkan potensi seorang kandidat memborong dukungan. Meski begitu, ia tak menyebutkan secara pasti penurunan angka ambang batas pencalonan Pilkada.
Ia melanjutkan, jika praktik memborong dukungan itu tetap dilakukan maka akan berakibat munculnya seorang kandidat melawan kotak kosong. Guspardi menegaskan cara seperti itu tidak baik bagi pendidikan politik di Indonesia.
"Misalnya di parlemen ambang batasnya 4 persen, dipersamakan saja presiden dan Pilkada agar masyarakat banyak pilihan. Intinya, persyaratan dukungan tidak perlu diperberat agar masyarakat banyak pilihan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin di daerah," jelasnya.
Legislator dari daerah pemilihan Sumatera Barat II ini mengatakan penurunan ambang batas Pilkada bisa menciptakan iklim pemilu yang lebih baik, di antaranya menghindari terjadinya transaksi politik antarelit, yaitu kandidat calon dapat "membeli" dan bisa mendapatkan dukungan dan rekomendasi semua partai.
Menurutnya, secara tidak langsung peluang pasangan calon melawan kotak kosong tidak akan terjadi. "Yang paling penting lagi menghindari supaya jangan ada kandidat yang berupaya membeli atau pun merangkul semua partai-partai politik karena persyaratannya yang ketat sehingga terjadi calon tunggal," tuturnya.
Guspardi mengimbuhkan calon kepala daerah yang melawan kontak kosong seharusnya tidak terjadi dalam demokrasi Indonesia karena tidak baik bagi pendidikan politik.