JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Komisi Kepemiluan (Komisi II) DPR menilai Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada tidak perlu di revisi guna memasukkan sejumlah aturan baru yang arahnya untuk mencegah terjadinya ledakan penularan virus corona di masyarakat. Perubahan aturan antara lain perlu menghilangkan kampanye pilkada yang berbentuk rapat umum.
Rapat umum perlu dihapus di UU Pilkada karena sangat berpotensi menciptakan kerumunan massa yang tidak terkendali saat kampanye berlangsung pada 26 September hingga 5 Desember 2020. Kerumunan massa pendukung seperti yang terjadi saat pendaftaran calon kepala daerah pada 4–6 September di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai sangat rawan menciptakan kluster baru penularan Covid-19.
Selain itu, di UU Pilkada, hasil revisi perlu pengaturan lebih detail soal tata cara pemungutan suara, terutama menyangkut jadwal kedatangan pemilih yang perlu secara bergantian. Revisi juga perlu mengatur sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar protokol kesehatan selama tahapan pilkada berlangsung
Anggota Komisi II DPR, Supriyanto, menuturkan apapun yang terkait secara teknis Pilkada cukup diatur melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dengan demikian, Tak perlu lagi merevisi UU Pilkada karena memerlukan waktu yang tidak singkat. Apalagi Pilkada Serentak digelar 9 Desember mendatang.
Politikus Partai Gerindra ini mencontohkan PKPU nantinya mengatur membatasi hanya beberapa orang saja yang dapat menghadiri rapat umum. Selanjutnya memenuhi protokol kesehatan seperti volume kegiatan kampanye hanya dapat dilakukan beberapa kali saja dan sebagainya.
"Kalau kampanye secara teknis cukup diatur dengan PKPU," kata Supriyanto saat dihubungi, Senin, 14 September 2020.
Senada dengan Supriyanto, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Sukamto mengungkapkan masalah teknis kampanye cukup di atur oleh KPU dengan menerbitkan atau merevisi PKPU. Pasalnya, kata dia, kalau merevisi UU Pilkada cukup lama sementara 26 September sudah memasuki masa kampanye.
"Semua yang menyangkut masalah pencegahan jangan sampai ada kluster Covid, cukup hanya 50 orang. Di PKPU Nomor 6 Tahun 2020 itu kan 50 orang batasan kampanye. Di PKPU Nomor 10 Tahun 2020 itu 100 orang. Kita usulkan kembali 50 orang agar tidak ada pertemuan tatap muka 100 orang," katanya saat dihubungi terpisah.
Anggota Badan Legislasi DPR ini mengatakan potensi penyebaran Covid-19 tidak hanya bisa terjadi karena adanya pertemuan 50 orang, tetapi melalui satu atau dua orang pun penularan bisa terjadi. "Yang penting protokol kesehatan harus dijaga," ujarnya.
Legislator asal Yogyakarta ini menegaskan secara hukum PKPU cukup kuat asas legalitasnya. "PKPU mengatur sanksi sampai pemberhentian itu juga diatur PKPU," kata dia.