JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengaku kecewa hingga kini pembentukan RUU Cipta Kerja di DPR dilakukan secara tertutup dan diskriminatif karena hanya melibatkan kelompok pengusaha dan mengabaikan masyarakat.
Apa yang diserukan oleh kaum buruh selama ini, misalnya, menurut Arif belum sepenuhnya diserap oleh lembaga yang menyebut dirinya sebagai wakil rakyat itu.
"Yang duduk di Senayan sana hari ini bukan wakil-wakil rakyat, tapi mereka adalah wakil-wakil pengusaha. Bukan wakil-wakil rakyat, tetapi mereka adalah wakil-wakil pemodal," kata Arif dalam sebuah konferensi pers virtual bersama sejumlah organisasi gerakan rakyat, Ahad, 4 Oktober 2020.
Arif menjelaskan, konsekuensi dari cara pembahasan yang tertutup oleh DPR itu akan berdampak tidak hanya pada pengusaha, tetapi juga buruh, mahasiswa, nelayan, petani, ibu rumah tangga, masyarakat adat dan seluruh warga negara Indonesia.
Dampaknya pun, lanjut dia, bukan sebatas pada persoalan ketenagakerjaan, melainkan juga sumber daya alam, pendidikan, soal tambang dan persoalan lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Arief lantas menyebut Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan bentuk kejahatan konstitusi. Hal itu bisa dilihat dari sejak awal kemunculannya, RUU ini diyakini memiliki cacat formil, cacat prosedur dan cacat materil.
Musababnya, karena RUU itu menabrak berbagai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi sebagai hukum tertinggi negara.
"Bukan hanya kejahatan, tetapi ini adalah bentuk pengkhianatan pemerintah dan juga DPR terhadap prinsip-prinsip demokrasi, prinsip-prinsip konstitusi dan juga negara hukum," ujarnya.
Oleh sebab itu, LBH Jakarta bersama sejumlah organisasi gerakan rakyat lainnya menyatakan penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai undang-undang.
Organisasi-organisasi tersebut tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi-aliansi Daerah.
Perwakilan Gebrak yang juga Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan pihak akan menyerukan aksi mogok nasional pada 6, 7 dan 8 Oktober 2020 mendatang. Pada hari puncak 8 Oktober, akan digelar aksi besar-besaran di depan gedung DPR RI dan pemerintah daerah masing-masing kota.
"Kita akan melakukan aksi 6, 7 dan 8 Oktober 2020, akan melakukan aksi di berbagai macam daerah, bahkan titik puncaknya nanti adalah pada 8 Oktober di DPR RI," ungkapnya.
Nining mengatakan, aksi nasional ini bakal mengusung satu tuntutan, yakni meminta DPR dan pemerintah membatalkan Omnibus Law seluruhnya. Sementara mereka juga mendesak sidang paripurna DPR mendatang tidak mengesahkan dan mengundangkan RUU Cipta Kerja.
Seperti diketahui, DPR dan pemerintah telah menyepakati seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (3/10/2020).
Sebanyak tujuh fraksi di DPR menyatakan setuju terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja. Hanya dua fraksi yang menolak, yaitu PKS dan Partai Demokrat.