JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Dalam rangka HUT Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) / United Nations (UN) yang ke-75, United Nations Economics and Social Commussion for Asia and the Pacific (UN ESCAP) mengadakan forum internasional dengan tema besar “Shaping Our Future Together”.
Dalam forum tersebut, Dyah Roro Esti Widya Putri, Anggota Komisi VII DPR RI, mengatakan pentingnya implementasi SDG di sektor energi Indonesia dan peran kita dalam melawan krisis iklim.
Kegiatan ini dihadiri oleh Armida Salsiah Alisjahbana (Under-Secretary-General of the United, Nations and Executive Secretary of ESCAP), Gita Sabharwal (United Nations Resident Coordinator in Thailand), dan Don Pramudwinai (Deputy Prime Minister and Minister of Foreign Affairs, Thailand), serta para inovator muda yang bergerak di sektor pembangunan berkelanjutan.
Upaya dekarbonisasi mengacu pada upaya yang dilakukan untuk mengurangin efek rumah kaca, terutama yang dihasilkan oleh energi fosil.
Pada sektor energi, hal ini dilakukan dengan fokus pada pengembangan low carbon power generator dan juga Energi Baru Terbarukan.
“Negara-negara di Kawasan Asia Pasifik, serta negara lain di seluruh dunia telah menyampaikan komitmennya saat Perjanjian Paris di tahun 2015.” ujarnya.
Legislator muda ini menjelaskan bahwa di Indonesia, Perjanjian Paris telah diratifikasi dan ditranslasikan ke dalam UU No. 16 Tahun 2016 tentang persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
"Dalam peraturan ini, Indonesia memiliki target untuk mengurangi karbon emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional” jelasnya.
Kader millennial golkar ini menjelaskan bahwa pada sektor energi, tujuan ini ditranslasikan ke dalam Kebijakan Energi Nasional.
“Terkait dengan Energi Baru Terbarukan (EBT), Indonesia memiliki target untuk mencapai porsi EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050," ujarnya.
Namun dalam realisasinya, Dyah Roro menuturkan saat ini masih berada di angka 9,15%, dimana hal ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup besar bagi kita sebagai bangsa Indonesia.
"Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi karbon emisi dalam sektor energi adalah dengan melakukan energi efisensi, implementasi teknologi clean coal, dan meningkatkan dukungan kebijakan dalam sektor energi menuju energi yang bersih,” tuturnya.
Di dalam forum PBB itu, Dyah Roro Esti menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia, RUU EBT telah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) di tahun 2020 dan sedang berada dalam proses pembahasan untuk kemudian disahkan.
“Dengan adanya RUU EBT ini, diharapkan isu-isu yang terkait dalam pengembangan EBT seperti masalah mekanisme pembiayaan, dukungan politik dan birokrasi, dan isu yang terkait dengan teknologi intermitensi," jelasnya.
Legislator Jatim X ini juga menjelaskan bahwa Indonesia saat ini memiliki potensi EBT sebesar 442 GW yang terdiri dari beberapa jenis EBT, contohnya 94.3 GW dari tenaga air, dan 28.5 GW dari geothermal, dimana hal ini merupakan 40% dari sumber daya geothermal di seluruh dunia.
Di sisi lain, Kementerian ESDM RI telah mengumumkan bahwa cadangan minyak di Indonesia hanya akan bertahan hingga 2028.
“Oleh karena itu, hal-hal tersebut perlu dijadikan momentum bagi kita untuk berfokus pada pengembangan EBT, tidak hanya sebagai energi cadangan, tetapi sebagai energi utama juga” tanggapnya.
Pada forum internasional tersebut, Dyah Roro Esti menjelaskan bahwa selain krisis iklim yang saat ini sedang kita alami, dengan adanya pandemi Covid-19, kita dihadapkan juga dengan krisis lain seperti krisis kesehatan, ekonomi, dan sosial.
“Kondisi ini dapat menjadi gambaran kecil dan pengingat bagi kita semua akan krisis yang akan datang jika kita menjalankan bisnis seperti biasa tanpa melakukan aksi yang nyata dan signifikan untuk melawan krisis iklim. Jika hal ini terus berlanjut, akan ada masalah lain yang sangat mungkin muncul seperti polusi udara ekstrim, kenaikan permukaan air laut, migrasi besar-besaran, serta temperatur yang meningkat dan menjadikan bumi sebagai tempat yang tidak bisa ditinggali. Tentunya hal ini perlu menjadi bahan introspeksi dan motivasi bagi kita untuk melakukan hal yang lebih,” ujarnya.
Di dalam forum Asia-Pasifik tersebut, Dyah Roro Esti memperkenalkan esensi dari ‘Gotong Royong’.
“Permasalahan krisis iklim merupakan permasalahan yang multisektoral dan penanganannya pun memelukan pendekatan multidisiplin dan kolaborasi atau gotong royong untuk mencapai tujuan, dalam hal ini yaitu menurunkan emisi karbon,” paparnya.
Anggota DPR muda tersebut menjelaskan bahwa semua orang memiliki peran yang signifikan untuk melawan krisis iklim, baik itu dari sisi industri, akademia, pemerintah, dan lain lain.
“Sebagai seorang legislator, hal yang dapat dilakukan yaitu memastikan pembuatan dan implementasi kebijakan yang dapat melawan krisis iklim dan mendukung pengembangan pembangunan berkelanjutan, misalnya RUU EBT” tutupnya.