JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Presiden Jokowi telah melantik enam menteri barunya, salah satunya Tri Rismaharini atau Risma sebagai Mensos. Namun pelantikan Risma ini menimbulkan kritik karena adalah Walikota Surabaya, Jawa Timur.
Risma memang akan mengakhiri jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya dalam waktu dekat setelah pemenang Pilwalkot Surabaya, Eri Cahyadi dan Armuji, dilantik. "Pengangkatan Risma memiliki problematika tersendiri. Sebab, di waktu yang sama, ia diketahui masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Sehingga, praktik rangkap jabatan kembali terlihat oleh publik," ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah, Kamis (24/12).
Risma malah mengaku mendapat izin Presiden Jokowi. Kondisi tersebut, dinilai Wana sebagai bentuk inkonsistensi dua pejabat publik pada prinsip etika publik yang berlaku. "Pejabat publik semestinya memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi pada kepentingan publik. Terlebih lagi jika pejabat itu sekelas Presiden dan Wali Kota dengan prestasi yang disebut-sebut mentereng. Sedikitnya terdapat 2 Undang-undang yang dilanggar dengan rangkap jabatannya Risma," ucap Wana.
Dua Undang-undang yang dimaksud Wana, yakni UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 76 huruf h UU ini berisikan aturan yang memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.
Undang-undang kedua yakni UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 huruf a UU ini mengatur aturan menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya. Sementara Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menteri dan wali kota disebut sebagai pejabat negara.
Berdasarkan dua aturan tersebut, Wana menganggap posisi Risma, baik dalam kapasitasnya sebagai Wali Kota Surabaya maupun Mensos, bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Atas polemik ini, ICW mendesak agar Risma dapat mengundurkan dari salah satu jabatan yang ia emban. Selain desakan kepada Risma, keputusan Jokowi pun patut jadi sorotan karena dianggap telah melanggar UU dan mengikis nilai etika publik yang ada di tengah masyarakat.
"Oleh karena itu ICW mendesak Risma untuk mundur dari salah satu jabatannya. Jika Risma tak segera mengundurkan diri, maka ia tidak layak menduduki posisi pejabat publik apa pun. Perhatian publik juga perlu ditujukan pada Presiden RI yang memberi izin pada Risma untuk rangkap jabatan," kata Wana.
Jawaban Kemendagri
Tapi Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik meluruskan permasalahan tersebut. Ia mengatakan, Tri Rismaharini secara otomatis diberhentikan dari jabatan Wali Kota Surabaya, ketika dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Sosial Republik Indonesia.
Akmal juga mengatakan, dalam aturan perundang-undangan kepala daerah dilarang merangkap jabatan.
Aturan tersebut sesuai dengan Pasal 78 Ayat 2 huruf g UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 78 tersebut berbunyi "Kepala Daerah diberhentikan karena diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undang," demikian pasal tersebut.
"Diberhentikan sejak dilantik menjadi pejabat baru. Kan ada larangan menjadi rangkap jabatan. Ketika dilantik itu sudah langsung berhenti," kata Akmal saat dihubungi, Kamis (24/12/2020).
Akmal juga menjelaskan, setelah Risma diangkat menjadi Menteri Sosial, posisi Wali Kota Surabaya akan digantikan Wakil Wali Kota Surabaya.
Hal ini, kata Akmal sesuai dengan Pasal 88 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan jika wali kota definitif belum dilantik, wakil wali kota melaksanakan tugas sehari-hari.
"Wakil wali kotanya (menggantikan), itu otomatis, UU 23/2004 jika kepala daerah berhalangan atau tidak lagi (menjabat) maka wakil kepala daerah yang melaksanakan tugas," ujarnya.
Lebih lanjut, saat ditanya terkait pernyataan Risma yang akan menghadiri agenda di Surabaya selaku Wali Kota Surabaya, Akmal mengatakan, hal tersebut akan mengganggu aturan dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
UU Kementerian Negara Bab V terkait Pengangkatan dan Pemberhentian, Pasal 23 huruf c disebutkan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai :
a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Kemudian, pada Pasal 24 Ayat 2 disebutkan bahwa Menteri diberhentikan oleh Presiden karena beberapa alasan
Salah satunya, Pasal 24 Ayat 2 huruf d yakni Menteri diberhentikan dari jabatannya karena melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dalam Pasal 23.