JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Rencana Pemerintah untuk kembali meneruskan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty jilid II melalui revisi Undang-Undang perpajakan menuai kritik bahkan penolakan dari parlemen.
Salah satunya datang dari Anggota Komisi XI DPR-RI yang membidangi keuangan, Fauzi H Amro.
Menurut Fauzi, kebijakan tax amnesty jilid II kurang tepat disaat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) masih minus.
"Justru perlu ada tambahan pemasukan dari sektor pajak, sehingga pemasukan dari sektor perlu digenjot, bukanya dipangkas," kata Fauzi dalam keterangan persnya di Jakarta (22/5/2021) merespon wacana Tax Amnesty jilid II.
Ketua Kapoksi Fraksi Nasdem Komisi IX ini mengungkapkan berdasarkan data Kemenkeu, per akhir November, penerimaan negara tercatat Rp 1.423 triliun sementara belanja negara adalah Rp 2.306,7 triliun. Ini membuat APBN 2020 membukukan defisit Rp 883,7 triliun atau setara 5,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kemudian pada kuartal 1-2021 APBN kita kembali mengalami defisit sebesar Rp 144,2 triliun. Defisit disebabkan oleh penerimaan negara yang masih minim sementara belanja melonjak.
Dari sisi penerimaan negara, sepanjang Januari hingga Maret 2021 terkumpul Rp 378,8 triliun, tumbuh 0,6% year on year (yoy), dalam beberapa kesempatan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui penerimaan negara masih loyo utamanya dikarenakan penerimaan pajak yang masih minus 5,6% yoy, sementara belanja negara untuk Maret 2021 naik 15,6% itu pertumbuhan luar bisa meningkat. Untuk belanja pemerintah pusat, terutama didukung belanja barang, belanja modal, dan belanja sosial.
Rasio penerimaan pajak negara terhadap PDB turun terus dari 13,3 % pada tahun 2008 menjadi
9,76 pada tahun 2019 dan pada Maret 2021 hanya 7,32 %. Ini pun sudah dibantu kenaikan cukai rokok setiap tahun.
"Rasio penerimaan pajak tahun ini terendah sejak Orde Baru bahkan mendekati prestasi Orde Lama dengan rasio 3,7 %, sehingga menurut saya, Pemerintahnya mesti bekerja ekstra mengenjot pendapatan dari sektor pajak, bukannya malah kembali mengulirkan kebijakan tax amnesty jilid II yang menguntungkan bagi APBN kita," imbuhnya.
Fauzi menilai kebijakan tax amnesty hanya menguntungkan kalangan pengusaha kelas atas, sementara satu sisi, pelaku UMKM terus dipajakin.
"Ini kan nggak adil, yang UKM dibidik pajaknya, sementara pengusaha besar diberi banyak insentif atau stimulus seperti kebijakan 0 DP untuk kredit otomotif termasuk pengampunan pajak atau tax amnesty," ujarnya.
Dikatakan, tax amnesty jilid I dilakukan tahun 2016. Jika diberlakukan lagi dalam waktu dekat, bisa menimbulkan para wajib pajak makin tak patuh memenuhi kewajibannya, karena mereka berpikir, tunggu waktu pengampunan atau pengampunan pajak, sehingga sebaiknya kebijakan tax amnesty tak usah dilanjutkan, terlebih negara kita perlu tambahan pendapatan dari sektor pajak.
Fauzi yang juga anggota Banggar DPR-RI ini meminta pemerintah menggulirkan sunset policy alih-alih tax amnesty. Sunset policy dianggap lebih aman dan berkelanjutan untuk dimasukkan di dalam kerangka konsolidasi kebijakan fiskal tahun 2022.
Pasalnya, diskon pajak pada sunset policy masih di kisaran 15 persen. Tentu besaran diskon ini berbeda dari tax amnesty yang diskonnya bisa mencapai 2 persen dan pada tahun 2023 diharapkan bisa menormalkan defisit fiskal diangka 3 persen dari PBD.
Alumnus IPB ini kembali mengingatkan Pemerintah bekerja ekstra agar pendapatan APBN dari sektor pajak bisa ditingkatkan.
"Berhentilah memanjakan para pengusaha dengan kebijakan tax amnesty, kebijakan tersebut tak usah diteruskan, saat APBN kita lagi terus mengalami defisit karena pandemi. Pemerintah selain harus meningkatkan target pendapatan dari sektor pajak, juga harus lebih kreatif mencari sumber-sumber pendapatan lain, agar APBN kita tidak terus mengalami defisit," pungkasnya.