JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Guspardi Gaus menilai penerapan sistem Presidential Threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya.
"Presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas," kata Guspardi kepada wartawan, dikutip pada Rabu (15/12/2021).
Tak hanya itu, Guspardi juga mengapresiasi dan mendukung pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menyebut presidential threshold harus ditiadakan guna mengentaskan korupsi di Tanah Air.
Menurutnya, dengan adanya presidential threshold, demokrasi di Indonesia kerap diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.
Sudah seharusnya pemilihan presiden yang membutuhkan ongkos politik mahal dihilangkan, lanjut politikus PAN ini, bisa dibayangkan, bila ada figur yang kredibel, berintegritas dan hebat mau maju menjadi calon pemimpin bangsa namun tak punya kapital yang memadai, ini yang dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pemilihan presiden.
"Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," jelasnya.
Kemudian, legislator asal Sumatera Barat II ini juga menilai dengan dihapusnya aturan presidential threshold, juga dapat menjadi salah cara mencegah polarisasi di tengah masyarakat.
"Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan, justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa," tegasnya.
Maka dari itu, setiap partai politik, kata Guspardi, seharusnya diberikan hak konstitusionalnya mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Bagaimanapun pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu, seharusnya bisa menjadi pelajaran penting bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapann.
"Akibatnya terjadi berbagai pembelahan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan. Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," pungkasnya.