JAKARTA(TEROPONGSENAYAN)-Keputusan pemerintah menyetop ekspor sementara batu bara pada Januari 2022 menuai protes dari pengusaha. Alasannya karena stok yang rendah.
Pengusaha batu bara pun mengaku terkejut atas keputusan pemerintah tersebut.
"Solusi untuk mengatasi kondisi kritis persediaan batu bara PLTU grup PLN termasuk IPP ini seharusnya dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan para pelaku usaha untuk menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak," kata Ketua Umum APBI-ICMA Pandu Sjahrir dalam keterangannya, dikutip pada Minggu (2/1/2022).
Pandu melanjutkan, penerapan sanksi larangan ekspor kepada seluruh pelaku usaha pada tanggal 1 Januari 2022 dalam rangka pemenuhan DMO 2022 tidaklah tepat karena seharusnya pelaksanaan DMO 2022 dihitung dari bulan Januari 2022 sampai dengan Desember 2022.
"Pasokan batu bara ke masing-masing PLTU, baik yang ada di bawah manajemen operasi PLN maupun IPP, sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batu bara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok batu bara serta praktik implementasi ketentuan yang sebelumnya telah disepakati dalam kontrak-kontrak tersebut dalam hal terjadi wanprestasi atau kegagalan pemenuhan pasokan," tuturnya.
Anggota APBI-ICMA disebut telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% di tahun 2021. Bahkan sebagian perusahaan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut.
"Anggota APBI-ICMA pun selama ini juga senantiasa patuh menjalankan kebijakan harga patokan maksimal untuk pasokan batubara dalam negeri kepada PLTU PLN dan IPP," sambung Pandu.
Pengusaha batu bara yang tergabung dalam APBI, mendukung Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 yang melarang penjualan batu bara ke luar negeri sampai dengan pemegang IUP memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai persentase penjualan atau sesuai dengan kontrak penjualan, kecuali bagi yang tidak memiliki kontrak penjualan dengan pengguna batu bara di dalam negeri atau spesifikasi batu baranya tidak memiliki pasar dalam negeri.
"Dapat pula kami sampaikan bahwa larangan ekspor yang berlaku secara umum dan meluas ini akan memiliki dampak signifikan terhadap industri pertambangan batu bara secara umum dan aktivitas ekspor batu bara secara khusus yang mana saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah sebagai salah penghasil devisa utama bagi negara," kata Pandu.
APBI menjabarkan sejumlah dampak dari larangan ekspor batu bara, yaitu:
- Volume produksi batu bara nasional akan terganggu sebesar 38-40 juta MT per bulan.
- Pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar kurang lebih US$ 3 miliar per bulan.
- Pemerintah akan kehilangan pendapatan pajak dan non pajak (royalti) yang mana hal ini juga berdampak kepada kehilangan penerimaan pemerintah daerah.
- Arus kas produsen batu bara akan terganggu karena tidak dapat menjual batu bara ekspor
- Kapal-kapal tujuan ekspor, hampir semuanya adalah kapal-kapal yang dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan negara-negara tujuan ekspor.
- Kapal-kapal tersebut tidak akan dapat berlayar menyusul penerapan kebijakan pelarangan penjualan ke luar negeri ini yang dalam hal ini perusahaan akan terkena biaya tambahan oleh perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) yang cukup besar (US$20,000 - US$40,000 per hari per kapal) yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor yang juga akan berdampak terhadap penerimaan negara.
- Kapal-kapal yang sedang berlayar ke perairan Indonesia juga akan mengalami kondisi ketidakpastian dan hal ini berakibat pada reputasi dan kehandalan Indonesia selama ini sebagai pemasok batubara dunia;
- Deklarasi force majeur secara masif dari produsen batu bara karena tidak dapat ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak sehingga akan banyak sengketa antara penjual dan pembeli batu bara.
- Pemberlakuan larangan ekspor secara umum akibat ketidakpatuhan dari beberapa perusahaan akan merugikan bagi perusahaan yang patuh dan bahkan seringkali diminta untuk menambal kekurangan pasokan.
- Menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara.
"Sebagai mitra pemerintah kami senantiasa mendukung kebijakan dan peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah. Namun tentu saja kami berharap agar bisa dilibatkan atau paling tidak diminta klarifikasi jika ada keluhan yang dialami oleh pihak pengguna batu bara domestik termasuk PLN," lanjutnya.
Pemerintah diminta beri solusi
APBI berharap pemerintah juga fokus upaya solusi permanen penyelesaian permasalahan struktural pasokan batu bara domestik.
1. Rekomendasi Prioritas Untuk Jangka Pendek:
a) Perlu diambil tindakan tegas kepada pemasok yang wanprestasi, termasuk kepada anak perusahaannya;
b) Perlu mekanisme pemantauan (monitoring) pemenuhan DMO secara berkala (setiap triwulan);
c) Besaran persentase DMO perlu disesuaikan dengan kebutuhan domestik yang riil/akurat;
d) DMO untuk perusahaan yang melebihi kewajibannya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang masih kurang belum memenuhi kewajibannya (secara cluster/group) tanpa ada biaya transfer;
e) Harga jual batu bara sebaiknya mengikuti harga pasar untuk menghindari disparitas.
2. Rekomendasi Bagi Pihak PLN:
a) PLN perlu lebih fleksibel untuk mengambil batubara diluar kualitas yg dibutuhkan (off-spec) saat ini, dengan cara blending atau co-firing. PLN perlu segera merealisasikan fasilitas blending;
b) Perhitungan kebutuhan batubara dibuat secara akurat, tepat dengan memperhatikan safety stock, memenuhi komitmen seperti yang tertuang dalam kontrak (volume dan tata waktu pengiriman);
c) Rekomendasi kebijakan untuk jangka menengah;
d) Dalam hal terjadi kelangkaan pasokan, pihak PLN dapat mengambil batubara dari bagian pemerintah dalam bentuk "in-kind".
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat Ditjen Minerba Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang diterbitkan pada tanggal 31 Desember 2021, resmi melarang perusahaan pertambangan batu bara untuk melakukan kegiatan ekspor batu bara.
Pemerintah mengambil kebijakan itu, untuk melakukan pelarangan ekspor batubara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, IUPK Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.
Langkah ini dilakukan guna menjamin terpenuhinya pasokan batubara untuk pembangkit listrik. Kurangnya pasokan ini akan berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PT PLN (Persero), mulai dari masyarakat umum hingga industri, di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) dan non-Jamali.
"Kenapa semuanya dilarang ekspor? Terpaksa dan ini sifatnya sementara. Jika larangan ekspor tidak dilakukan, hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 mega watt (MW) akan padam. Ini berpotensi menggangu kestabilan perekonomian nasional," terang Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin belum lama ini.