Oleh MAYJEN TNI PRN PRIJANTO ASTER KASAD 2006-2007 WAGUB DKI JAKARTA 2007-2012 pada hari Senin, 18 Sep 2023 - 20:20:30 WIB
Bagikan Berita ini :

Letupan Bedil Penjajah dan di Rempang Batam

tscom_news_photo_1695043230.jpg
Prijanto (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Letupan bedil penjajah setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terulang lagi ketika penjajah Belanda melakukan agresi ke negara Indonesia Merdeka, dikenal dengan agresi Belanda I, untuk merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya, dan daerah yang memiliki sumber daya alam minyak, pada 21 Juli 1947 - 6 Agustus 1947.

Agresi I gagal, Belanda mengulangi lagi pada 19-20 Desember 19448, di kenal dengan Agresi Belanda II. Agresi ini berakhir setelah Indonesia dan Belanda duduk bersama dalam perjanjian Roem Royen, dan secara resmi berakhir Mei 1949.

Sebelum proklamasi kemerdekaan, bebagai peristiwa yang dilakukan penjajah Belanda dan Jepang terhadap kaum pribumi Indonesia betul-betul di uar batas perikemanusiaan dan di luar perikeadilan. Letupan bedil dan lecutan cemeti penjajah, nyaris setiap hari terdengar. Rintihan demi rintihan, dengan ceceran darah dan jalan tertatih-tatih menahan rasa pedih dan sakit, terdengar dari rakyat pribumi yang dipaksa kerja atau diusir penjajah untuk direbut tanahnya, dikuasai penjajah dengan dalih tidak ada surat-surat.

Kekejaman penjajah telah melahirkan perjuangan pergerakan kemerdekaan dari para tokoh tua dan muda. Para pemuda militan, yang terlibat perisiwa Rengasdengklok, peristiwa yang mendorong proklamasi kemerdekaan segera diproklamirkan, jika dihitung di tahun 1945 masih muda-muda, antara lain: Chaerul Saleh (29 th), Wikana (31 th), Soekarni (29 th), Yusuf Kunto (24), Sudiro (34 th), dan Shodanco Singgih (28 th). Apabila perjuangan mereka sudah lebih sepuluh tahun, berarti usia belasan tahun mereka sudah berjuang.

Shodancho Supriyadi (22 th) memimpin pemberotakan PETA terhadap Jepang di Blitar, karena tidak percaya janji-janji Jepang. B.M. Diah (28 th) penyebar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. B.M. Diah dikenal sebagai sosok yang paham makna dan nilai-nilai teks proklamasi. Diah adalah pemungut teks Proklamasi Kemerdekaan yang sudah lecek dari tempat sampah, dan disimpannya rapi puluhan tahun, dan baru diserahkan kepada pemerintah atau Presiden Soeharto tahun 1993.

Pengukapan sejarah di atas dengan maksud menguatkan argumentasi penulis ketika menanggapi isi kuliah umum Ketua MK di UNISULA yang tendensius, dengan menonjolkan pemimpin muda Khalid bin Walid pada zaman Rasulullah, dan Mohammad Al Fatih yang merebut Konstatinopel. Sesungguhnya, tidak usah jauh-jauh, perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia pun melahirkan pejuang-pejuang muda yang militan sehingga bangsa Indonesia merdeka.

(Google: Prijanto: Anwar Usman Bisa Dilaporkan ke Dewan Etik MK?)

Penulis ingin katakan bahwa bonus demografi, diiringi perkembangan lingkungan strategis, menjadikan tantangan ke depan semakin berat. Persaingan individu semakin ketat karena perkembangan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau environment. Lingkungan yang penuh sikap juang atau lingkungan yang korup, pengaruh orang tua sebagai pejuang atau orang tua korup juga akan mempengaruhi perkembangan kejiwaan anak. Ruang dan waktu juga menjadi faktor tantangan dan pembeda di masing-masing zaman dan negara.

Zaman Rasulullah, zaman Kerajaan dan Kesultanan di Nusantara, zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia dibandingkan dengan abad modern masa kini, jelas berbeda tantangannya, yang berakibat kedewasaan individu di setiap zaman beda. Karakter individu, jiwa patriotisme, jiwa juang, militansi, motivasi, dll., yang dilahirkan pada zamannya dapat dipastikan berbeda. Apalagi membandingkan pemuda dari negara satu dengan negara lainnya.

Para pejuang kemerdekaan tua dan muda melihat kekejaman penjajah atas rakyat pribumi, mampu melahirkan pernyataan politik bangsa Indonesia, yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945: ‘’Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.’’

Pada akhir pernyataan, diikrarkan untuk membentuk pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kini, setelah 78 tahun merdeka, suara letupan bedil dengan peluru hampa dan gas air mata, terdengar di Rempang Batam, beberapa hari yang lalu, dan hampir dua minggu masih ramai diperbincangkan oleh nitizen di media sosial. Berbagai macam komentar sesuai dengan apa yang mereka ketahui, baik dari pejabat pemerintah maupun rakyat atau nitizen, saling bersahutan.

Satu hal yang pasti, adanya kritik perilaku aparat terhadap rakyat, perilaku pemerintah terhadap rakyat Melayu sebagai penghuni lahan di Rempang, yang patut disayangkan. Bahkan sampai ada yang mengusik menanyakan mana makna Polisi sebagai pengayom, dan Jati Diri Prajurit TNI sebagai Tentara Rakyat. Sebaliknya pemerintah berusaha menjelaskan tentang status tanah dan pentingnya investasi dan investor.

Ada juga yang mengkaitkan antara kebijakan pemerintah dengan nilai-nilai yang tertuang dalam pernyataan politik para pejuang kemerdekaan yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945; soal perikemanusiaan, perikeadilan, persatuan, melindungi segenap bangsa dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai referensi kritiknya.

Artikel ini, sesungguhnya bukan hendak mengupas kasus Rempang. Penulis ingin kasus Rempang ini sebagai bahan kajian untuk menguji hipotesa tentang kepemimpinan pemuda pada usia di bawah 40 tahun, di era modern ini. Benarkah ruang dan waktu mempengaruhi kedewasaan para pemuda sebagaimana penulis katakan di atas?

Letupan bedil penjajah telah melahirkan tokoh-tokoh muda peristiwa Rengasdengklok, dll., serta mampu merumuskan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Kini, sampai sejauh mana ‘’suara’’ letupan di Rempang Batam menggugah hati para pemuda baik di kampus akademi maupun di luar kampus? Peduli atau tidak peduli? Benarkah pendapat Donald Super bahwa individu usia 35-44 tahun berada di tahap establishment? Kemudian mari kita kaitkan dengan gugatan batas usia minimal untuk Capres dan Cawapres agar turun 35 tahun.

Pantaskah gugatan tersebut dikabulkan atau tidak? Jawaban ada di hati masing-masing. Satu hal yang ingin penulis sampaikan, sebagai bahan renungan, bahwa kini kita hidup, apakah mapan atau belum mapan, enak atau tidak enak, kaya atau miskin, semua punya anak cucu dan keturunan. Pertanyaannya, apa yang hendak kita wariskan kepada keturunan kita?

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Fenomena Tindak Kekerasan Terhadap Insan Pers Semakin Meresahkan

Oleh Jacob Ereste
pada hari Rabu, 24 Jul 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tindak kekerasan terhadap wartawan tampaknya semakin brutal dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang mungkin merasa sangat terganggu oleh fungsi kontrol yang dilakukan ...
Opini

Antara Jokowi dan Erdogan, dari Visi Mulia hingga Ambisi Berkuasa

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Jokowi yang pertama kali terpilih sebagai Presiden Indonesia pada 2014 dan kembali terpilih pada 2019, juga datang dengan janji untuk memperbaiki infrastruktur, ...