JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ahli hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Profesor Yenti Garnasih meminta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak ragu untuk menggunakan pasal TPPU dalam kasus korupsi Timah. Kasus ini ternyata menimbulkan kerugian negara yang cukup besar.
“Tidak ada masalah dan hambatan sebenarnya dalam pengenaan TPPU dalam kasus koruspsi, kenapa harus ragu dan kurang peka. Sekarang tinggal mau atau tidak melakukannya,” katanya, Minggu (31/3/2024).
Menurut Yenti, jika menggunakan TPPU dalam kasus Timah, maka kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah hingga 2-3 kali lipat. Saat ini Kejagung telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka.
“Bukan tidak mungkin uang korupsi para tersangka dalam kasus ini mengalir ke orang-orang terdekat mereka, seperti suami, istri, anak, dan kerbat atau pihak lain. Tinggal mengikuti saja aliran uangnya atau follow the money jika dikaitkan dengan dugaan TPPU,” sambungnya.
Yenti pun menduga bahwa ada pihak yang melindungi para tersangka kasus korupsi timah. Apalagi, kasus yang baru-baru ini diungkap oleh Kejaksaan Agung itu bergulir cukup panjang, terhitung sejak 2015 sampai 2022.
“Ada pihak tertentu yang menikmati aliran dana tersebut yang tidak ingin agar TPPU juga diterapkan dalam kasus tersebut. Pasalnya, jika diterapkan banyak pihak yang akan terjerat,” sambungnya.
Kejagung mengusut kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yang menjerat belasan tersangka, termasuk crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim dan suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis. Ratusan saksi pun telah dimintai keterangan pada kasus yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada 2015-2022 itu.
Usut punya usut, kasus dugaan korupsi ini ternyata menimbulkan kerugian yang cukup besar. Kejagung mencatat kerugian ekologis yang disebabkan atas korupsi itu mencapai lebih dari Rp271 triliun.
Angka itu berasal dari hasil perhitungan ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo. Perhitungan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014 tentang kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Kejagung menyebut dalam kasus ini nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis yakni kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun dan terakhir biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun. Namun, Kejagung menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut masih belum bersifat final.