JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Baleg DPR I Nyoman Parta meminta, pemerintah memperhatikan hak-hak masyarakat adat dalam pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Tak hanya dilibatkan program pemberdayaan masyarakat, melainkan harus terlibat secara profesional.
Hal tersebut seraya merespons revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Pasal 108 A, berbunyi "Selain pelibatan dalam program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108. Pemerintah pusat dalam memberikan WIUP Mineral logam dan Batubara di suatu kawasan dapat melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan pengelolaan Pertambangan".
"Nah, cuman konteksnya dalam persoalan WIUP ini ketika di kawasan itu ada masyarakat adat. Jadi perlakuannya tidak harusnya sebatas pemberian CSR. Tidak sebatas pemberdayaan, kenapa? dia yang memiliki walaupun kepemilikannya tidak sempurna," kata Politikus PDIP itu di Jakarta dikutip, Selasa (18/2/2025).
Ia menjelaskan, alasan kepemilikan tersebut tidak sempurna karena ada Pasal 33 tentang penguasaan negara. Tetapi hak turun menurun, hak tradisional. "Itu juga diatur undang-undang," jelas Nyoman.
Sementara Pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Serta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat adat, dan prinsip negara kesatuan RI.
"Hak atas tanah ulayat, itu disebut hak tradisional. Kedua, hak atas sumber daya alam. Ketiga, hak pengelolaan sumber daya alam. Jadi mereka mendapatkan itu dari undang-undang dasar Pasal 18 B. Jadi bukan tiba-tiba kita membicarakan ini," jelas Parta.
Selanjutnya dalam UU PA Pasal 3, masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi rekomniti. "Yang memang berhak, yang bersangkutan itu, iya berhak menerima selaku pemegang wilayah itu," ujar Parta.
"Jadi, ketika ada hak ulayat yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah, yang mana aja saja mejadi wilayah adat, jadi itu berikan," tambahnya.
Namun, tidak seluruh wilayah Indonesiaada masyarakat yang harus perlakukan secara khusus. "Jangan semuanya diperlakukan khusus karena tidak semua ada masyarakatnya," tutur Parta.
"Jadi bedakan masyarakat dengan adat istiadat. Kalau pakaian Bali itu adat istiadat, jadi bedakan dengan hak ulayat. Jadi beda cara berpakaian dengan kepemilikan," sambungnya.
Selanjutnya Pasal 44 Undang-Undang tentang Kehutanan, dijelaskan tentang hak masyarakat adat, jangan gara-gara karena pemerintah melakukan eksploitasi, sementara masyarakat yang merawat hutannya dan melindungi airnya, namun tidak diberikan hak.
"Jadi, jangan tempatnya dia hanya sebagai penerima CSR. Jangan tempatnya sebagai penerima pemberdayaan karena mereka pemiliknya, walaupun tidak sempurna kepemilikannya. Poin Pasal 108 A tinggal dilunakan lebih sedikit saja," imbuh Parta.