JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Suara kritis sejumlah anggota DPR terhadap isu tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dinilai turut mendorong langkah cepat pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) 4 perusahaan di kawasan konservasi tersebut. Analis komunikasi politik, Silvanus Alvin mengatakan pernyataan tegas para wakil rakyat atas isu Save Raja Ampat yang ramai disorot publik menunjukkan peran nyata parlemen dalam memastikan akuntabilitas pemerintah dan pelaku usaha.
Hal ini juga dinilai Alvin mencerminkan fungsi pengawasan yang dijalankan secara serius, terutama dalam isu-isu lingkungan strategis.
"Sikap kritis terhadap kebijakan yang merusak lingkungan mencerminkan fungsi pengawasan yang dijalankan dengan serius dan akhirnya direspons cepat oleh Pemerintah" kata Alvin, Selasa (10/6/2025).
Seperti diketahui, Pemerintah atas arahan Presiden Prabowo Subianto mencabut IUP 4 perusahaan di Kabupaten Raja Ampat. Pemerintah mencabut izin tambang bermasalah itu setelah ramai protes tentang eksploitasi di Raja Ampat yang berdampak buruk terhadap lingkungan, dan mengganggu kemakmuran rakyat setempat.
Adapun nama empat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Kawei Sejahtera Mining.
PT ASP merupakan perusahaan penanaman modal asing dari China yang lokasi tambangnya berada di Pulau Manura, PT Mulia Raymond Perkasa dengan lokasi tambang di Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun, serta PT Nurham yang berlokasi di Pulau Yesner Waigeo Timur. Empat perusahaan itu izinnya dicabut karena melakukan pelanggaran lingkungan, termasuk karena sebagian area tambangnya masuk ke kawasan geopark.
Alvin berpandangan suara keras yang muncul dari parlemen turut mendorong pencabutan izin tambang nikel di kawasan konservasi tersebut. Menurutnya, tanpa ada suara kritis dari DPR, pemerintah tidak menindaklanjuti isu itu dengan cepat.
"Tanpa tekanan dari DPR yang berada di pihak rakyat, kecil kemungkinan isu ini akan ditindaklanjuti secepat itu. Fungsi kontrol parlemen jelas jadi penyeimbang dalam demokrasi,” ujar Dosen milenial di salah satu perguruan tinggi swasta itu.
"Pernyataan-pernyataan keras dari DPR berperan besar dalam mendesak pemerintah untuk mencabut izin tambang yang tak sesuai dengan prinsip perlindungan lingkungan,” sambung Alvin.
Alvin menyebut setiap kebijakan harus memperhatikan keberlanjutan ekologis serta kesejahteraan masyarakat, di mana DPR bisa menjadi penggerak untuk menciptakan kebijakan yang tetap memperhatikan kelestarian alam.
"DPR harus bisa menjadi motor terlaksananya kebijakan dan penerapan sustainability dengan pola 3P: People, Planet dan Profit. Jangan sampai suatu usaha malah merugikan rakyat dan tempat tinggal mereka," tutur Alvin.
"Artinya, keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan masyarakat adat harus jadi fokus utama," imbuh Master dari University of Leicester, Inggris ini.
Alvin pun menyoroti pernyataan anggota DPR dari Dapil Papua, Yan Mandenas yang mengungkap bahwa tambang nikel di Raja Ampat ditolak masyarakat setempat. Yan menuturkan tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, telah lama ditolak oleh warga setempat, termasuk masyarakat adat yang memiliki hak ulayat.
Selain itu, Anggota Komisi IV Daniel Johan menegaskan bahwa tambang nikel di Raja Ampat merusak alam dan harus dihentikan secara keseluruhan.
"Bahkan, pernyataan tegas dari anggota dewan dapil Papua Yan Mandenas patut diapresiasi dan perlu didorong upaya mengusut kajnggaalan penerbitan izin usaha tambang tersebut," sebut Alvin.
Suara keras dari sejumlah anggota DPR juga dinilai sebagai bentuk nyata bahwa parlemen pro rakyat dan melindungi kelestarian alam. Termasuk pengingat dari Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam yang meminta Pemerintah belajar dari kasus di Raja Ampat agar tidak memberi izin tambang secara ugal-ugalan.
Alvin pun sepakat dengan pernyataan Mufti Anam yang meminta Pemerintah konsisten terhadap keputusan mencabut izin tambang bermasalah di Raja Ampat dan bukannya hanya sebagai sebuah manuver sesaat.
"Di sini terlihat keterlibatan DPR yang pro rakyat dan pro lingkungan," ujar penulis buku ‘Komunikasi Politik di Era Digital: dari Big Data, Influencer Relations & Kekuatan Selebriti, Hingga Politik Tawa’ tersebut.
Menurut Alvin, sikap kritis DPR terhadap penambangan di Raja Ampat merupakan bagian dari tanggungjawab moral untuk menjaga warisan lingkungan demi masa depan. Hal ini dianggap bisa menjadi nilai tambah untuk menunjukkan komitmen menjaga lingkungan di mata dunia.
"Dengan DPR aktif merespons laporan kerusakan lingkungan di Raja Ampat, salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya branding nasional di mata dunia serta komitmen menjaga aset strategis negara," papar Alvin.
Sebelumnya, Anggota DPR dari Dapil Papua, Yan Mandenas menyatakan perusahaan tambang nikel di Raja Ampat sudah beroperasi tanpa mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun, terjadi pembiaran dari pemerintahan sebelumnya.
"Namun, yang terjadi adalah pembiaran oleh pemerintahan sebelumnya, baik pusat maupun daerah, hingga masalah ini muncul ke permukaan setelah adanya protes dari aktivis lingkungan,” ungkap Mandenas.
Dari sisi lingkungan, Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan menegaskan ekspansi tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, seperti Pulau Kawe, Pulau Gag, dan Pulau Manuran melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Daniel pun meminta agar Pemerintah melakukan investigasi terhadap proses pemberi izin. Sebab, tambang nikel merusak lingkungan dan merugikan kehidupan masyarakat setempat.
"Ini bukan hanya soal perusahaan tambang. Kami minta pihak-pihak yang meloloskan izin tambang di pulau-pulau kecil yang dilindungi UU harus diinvestigasi. Ini pelanggaran terbuka terhadap UU No. 1 Tahun 2014 dan bentuk nyata pengabaian terhadap kepentingan rakyat," urai Daniel.
"Masyarakat adat dan Pemda setempat menolak adanya tambang di raja Ampat. Negara harus meliat kepentingan masyarakat adat, masyarakat lokal bukan mementingkan soal investasi yang pada akhirnya merusak alam, mengganggu masyarakat adat (lokal) karena berdampak pada lingkungan," lanjutnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam meminta Pemerintah mengevaluasi sistem penerbitan IUP agar aktivitas tambang tidak melanggar aturan seperti yang terjadi di Raja Ampat.
“Kejadian di Raja Ampat bisa menjadi pembelajaran bagi Pemerintah untuk tidak ugal-ugalan menerbitkan izin tambang. Jangan sampai Pemerintah menjadi makelar tambang,” ucap Mufti Anam, Selasa (10/6).
Mufti meminta konsistensi ketegasan Pemerintah terkait isu tambang tersebut.
“Masalah ini ramai bukan tanpa alasan. Pemerintah juga harus mendengarkan masyarakat yang telah dirugikan dari aktivitas tambang di Raja Ampat selama ini,” terangnya.
Mufti memastikan DPR RI akan terus mengawal persoalan ini, dan meminta agar tidak ada kompromi terhadap izin-izin tambang yang melanggar aturan dan merusak alam serta mengganggu kesejahteraan rakyat.
“Kami akan awasi. Jangan sampai ketika sorotan publik mereda, aktivitas tambang dilanjutkan lagi seolah tak ada masalah. Penutupan tambang di Raja Ampat tak boleh hanya jadi manuver sesaat,” pungkas Mufti.