TEROPONGSENAYAN.COM - Dalam sejarah perjalanan republik ini, posisi Wakil Presiden Republik Indonesia bukan sekadar pendamping formal Presiden, melainkan cermin dinamika politik, sosial, dan kultural bangsa. Sejak Mohammad Hatta hingga Gibran Rakabuming Raka, kursi Wakil Presiden menjadi titik simpul penting dalam memahami arah kebijakan, keseimbangan kekuasaan, dan pergulatan antara idealisme, teknokrasi, dan realitas politik.
Dari Bung Hatta hingga Era Reformasi: Wapres sebagai Penyeimbang Konstitusional
Mohammad Hatta, Proklamator yang juga ekonom brilian, adalah Wakil Presiden pertama yang bukan hanya setara dengan Presiden Soekarno dalam pikiran dan visi, tetapi juga membentuk dasar-dasar negara hukum dan ekonomi kerakyatan. Namun, sejak ia mundur pada 1956 karena perbedaan prinsip dengan Soekarno, posisi wapres menjadi “kosong” secara formal selama hampir dua dekade—sebuah ironi konstitusional yang menandakan kuatnya dominasi eksekutif tunggal.
Barulah di era Orde Baru, posisi Wakil Presiden diaktifkan kembali dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Namun, peran Wapres di era Soeharto cenderung simbolik dan subordinatif. Mulai dari Adam Malik hingga Try Sutrisno, mereka lebih sebagai perwakilan kekuatan tertentu—diplomasi, birokrasi, atau militer—daripada aktor strategis yang setara dengan Presiden.
Reformasi dan Harapan atas Kemitraan Konstruktif
Era Reformasi membuka babak baru. Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh Presiden semata, melainkan melalui proses politik yang lebih demokratis. Megawati Soekarnoputri menjadi Wapres perempuan pertama, sebelum naik menjadi Presiden saat Gus Dur dilengserkan. Sejak saat itu, posisi Wapres menjadi penting dalam stabilitas politik, konsolidasi pemerintahan, hingga negosiasi kekuasaan lintas partai.
Jusuf Kalla mencatat sejarah sebagai satu-satunya Wapres yang menjabat dua periode non-berturut, memperlihatkan kapasitasnya sebagai negosiator ulung dan penengah konflik. Sementara Boediono mencerminkan watak teknokratis yang lebih fokus pada penguatan kebijakan ekonomi makro.
Di bawah kepemimpinan Joko Widodo, Ma’ruf Amin dipilih untuk mewakili kekuatan Islam moderat, namun sayangnya tidak terlalu menonjol secara fungsional di pemerintahan. Hal ini kembali memunculkan pertanyaan lama: Apakah Wapres hanya pelengkap kekuasaan, atau mitra strategis kepemimpinan nasional?
Gibran dan Masa Depan Institusi Wapres: Legitimasi vs Regenerasi
Terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden 2024–2029 membuka babak baru yang penuh perdebatan. Di satu sisi, ia membawa simbol regenerasi, representasi anak muda, dan narasi inovasi. Di sisi lain, proses pencalonannya melalui putusan Mahkamah Konstitusi menuai kontroversi hukum dan etik, hingga memunculkan kekhawatiran akan praktik politik dinasti.
Dengan usia yang sangat muda, Gibran menghadapi tantangan luar biasa: membuktikan bahwa ia bukan sekadar “anak presiden” tetapi negarawan masa depan. Apakah ia akan hanya menjadi ‘ban serep politik’, atau justru menyuntikkan semangat baru dalam manajemen pemerintahan, akan menjadi catatan sejarah yang penting dalam perjalanan republik ini.
Refleksi Konstitusional: Meneguhkan Fungsi dan Kewibawaan Wakil Presiden
Kini saatnya kita meninjau ulang peran konstitusional Wakil Presiden. Dalam sistem presidensial, seharusnya Wapres menjadi mitra setara dalam pengambilan keputusan strategis, bukan sekadar cadangan apabila Presiden berhalangan. Diperlukan kejelasan peran, ruang partisipasi aktif dalam kebijakan publik, dan penguatan institusi yang tidak hanya bersandar pada kehendak politik presiden semata.
Demokrasi yang sehat membutuhkan kemitraan kepemimpinan, bukan monopoli kekuasaan. Kegagalan mengoptimalkan peran Wakil Presiden adalah kegagalan sistemik kita dalam membangun tata kelola kenegaraan yang kokoh dan visioner.
Penutup
Dari Bung Hatta yang memilih mundur demi prinsip, hingga Gibran yang naik dengan kekuatan politik generasi baru, perjalanan para Wakil Presiden RI adalah cermin pergulatan nilai, kekuasaan, dan harapan rakyat. TeropongSenayan mengajak publik dan pembuat kebijakan untuk menata ulang arsitektur kepemimpinan nasional—agar Wakil Presiden bukan lagi pelengkap, melainkan pilar integritas, kecerdasan, dan keberanian menghadirkan perubahan.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #