Oleh Sahlan Ake pada hari Kamis, 03 Jul 2025 - 09:24:10 WIB
Bagikan Berita ini :

Sikap Kritis Legislator Perempuan soal Tragedi ‘98 Perkuat Narasi Pembelaan Terhadap Korban Kekerasan Seksual

tscom_news_photo_1751509450.jpg
Gedung rapat paripurna DPR (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kritik yang disampaikan sejumlah anggota DPR, terutama legislator perempuan, terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal isu pemerkosaan massal dalam tragedi 1998 mendapat apresiasi. Sikap anggota DPR perempuan dalam rapat kerja dengan Menbud Fadli Zon dinilai memperkuat narasi pembelaan terhadap korban kekerasan seksual di masa lalu.

Aktivis perempuan dari Sarinah Institute, Luky Sandra Amalia, menyatakan bahwa kritik tersebut patut diapresiasi karena mencerminkan fungsi utama parlemen, terutama dalam mengawal isu-isu keadilan gender.

"Kritik anggota DPR, terutama anggota DPR perempuan, atas pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang disampaikan secara langsung di tengah rapat kerja patut diapresiasi. Memang itulah fungsi mereka di parlemen,” kata Amalia, Kamis (3/6/2025).

“Kritik mereka semakin menguatkan narasi pembelaan terhadap korban kekerasan seksual di masa transisi demokrasi 1998 yang selama ini ramai diteriakkan oleh aktivis perempuan di luar parlemen," sambungnya.

Seperti diketahui, dua anggota DPR yakni Wakil Ketua Komisi X DPR My Esti Wijayati dan Anggota Komisi X DPR Mercy Chriesty Barends dalam rapat kerja dengan Fadli Zon pada Rabu (2/7) menjadi sorotan publik.

Mercy mengkritik pernyataan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam tragedi ‘98 tidak dapat dibuktikan atau hanya rumor. Ia juga menuntut Fadli Zon meminta maaf di hadapan publik atas pernyataannya dan menegaskan kasus-kasus pemerkosaan di ‘98 benar-benar terjadi sebab Mercy mengaku menjadi saksi sejarah kelamnya peristiwa saat itu.

Hal senada juga disampaikan My Esti. Bahkan Esti sampai tak kuasa menahan tangisnya karena menganggap klaim Fadli Zon telah melukai korban pemerkosaan yang terjadi di era awal reformasi tersebut.

Adapun pernyataannya soal tak ada pemerkosaan massal di tragedi ‘98 menjadi kontroversi dan muncul dalam kaitan proyek penulisan sejarah ulang yang tengah dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan.

Terkait hal ini, Amalia menilai pandangan dua legislator perempuan itu mencerminkan sensitivitas gender yang kuat dan dapat menjadi inspirasi. Menurutnya, dua anggota Komisi X DPR tersebut bisa menjadi contoh yang baik.

"Bagaimana dua legislator perempuan yang tidak kuat menahan tangis ketika menyampaikan pandangannya menunjukkan sensitivitas gender mereka sebagai sesama perempuan," ucap Amalia.

"Harapannya, mereka bisa menginspirasi lebih banyak lagi legislator perempuan dan aktivis perempuan di luar parlemen untuk ikut mengawal kebijakan pemerintah supaya lebih sensitif gender," lanjut Peneliti Pusat Riset Politik-BRIN itu.

Amalia pun menekankan kesinambungan antara suara dari luar parlemen dengan sikap para legislator perempuan di dalam gedung DPR yang memang perlu dilakukan. Ia menilai, para legislator perempuan di DPR memiliki kepekaan terhadap isu perempuan yang menjadi perhatian publik.

"Teriakan aktivis perempuan di luar parlemen memang perlu digaungkan oleh perempuan-perempuan wakil rakyat yang ada di gedung DPR. Sebagai sesama perempuan, legislator perempuan memang sudah seharusnya memiliki sensitivitas gender dengan aktivis perempuan di luar parlemen dan perempuan-perempuan korban kekerasan seksual," papar Amalia.

Lebih lanjut, Amalia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara parlemen dan gerakan sipil untuk memperkuat desakan pelurusan sejarah berdasarkan fakta. Ia menuturkan soliditas perempuan diharapkan hisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penulisan ulang sejarah.

"Kritik-kritik yang masih terpecah-pecah ini sudah saatnya disatukan supaya menghasilkan gaung yang lebih kuat supaya bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah,” jelasnya.

“Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi solid antara aktivis-aktivis perempuan di luar parlemen dengan legislator perempuan yang ada di dalam parlemen untuk mendesakkan pelurusan sejarah sesuai faktanya. It is as it is, tanpa perlu embel-embel "tone positif"," imbuh Amalia.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayati menangis kala mendengar jawaban Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat dimintai klarifikasi soal pernyataannya terkait pemerkosaan massal 1998. Esti mengaku kecewa karena Fadli Zon dinilainya tak peka terhadap peristiwa tersebut.

Momen itu terjadi dalam Rapat Kerja Komisi X bersama Fadli Zon di Gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7). Mulanya, Fadli Zon mengaku telah membaca data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengenai kerusuhan 1998.

Namun, Fadli Zon meminta jangan masuk narasi adu domba dari kekuatan asing saat itu yang ingin mem-framing. Ia lalu memberikan contoh sebuah tulisan salah satu majalah, di mana adanya pemerkosaan massal dan terdengar meneriakkan takbir.

Fadli Zon pun menyatakan dirinya mengakui telah terjadi pemerkosaan. Meski demikian, ia menegaskan hal itu akan sulit diakui secara hukum lantaran tak ada fakta dan pelaku pemerkosaan.

Mendengar jawaban Fadli Zon, My Esti menginterupsi. Ia menilai penjelasan Fadli dalam rapat semakin membuat sakit hati.

"Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” ungkap Esti.

“Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban perkosaan sehingga menurut saya penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu justru akan semakin membuat luka dalam,“ tambahnya.

Esti juga menegaskan agar Fadli Zon meminta maaf karena pernyataannya telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat.

“Dengan melihat polemik yang berkembang dan sudah mulai banyak bagian dari masyarakat yang terluka, maka dengan segala hormat saya meminta Pak Menteri untuk meminta maaf kepada publik,” ujar Esti.

Anggota Komisi X DPR lainnya yakni Mercy Chriesty Barends juga menyatakan hal yang sama. Ia menilai pernyataan Fadli Zon membuat banyak pihak terluka.

“Statement Bapak pada beberapa waktu yang lalu cukup melukai kami semua, terutama kami aktivis perempuan. Kami sangat berharap permintaan maaf. Mau korbannya perorangan yang jumlahnya banyak, yang Bapak tidak akui itu massal, permintaan maaf tetap penting. Karena korban benar-benar terjadi," urai Mercy.

Mercy mengaku merasakan ikut sakit hati atas pernyataan Fadli Zon karena ia turun langsung bersama Komnas Perempuan menangani berbagai kasus kekerasan seksual pada saat kerusuhan. Menurutnya, korban kekerasan seksual benar adanya namun tidak berani bersuara.

"Kita bertemu dengan yang dari Papua, dari Aceh, dan sebagainya. Tidak satu pun korban berani untuk menyampaikan kasus kekerasannya karena pada saat itu mengalami represi yang luar biasa. Hal yang sama juga terjadi pada saat kerusuhan "98,” ucap Mercy.

Mercy juga memberikan tiga dokumen bukti-bukti kepada Fadli Zon untuk menjadi pertimbangannya saat menulis ulang sejarah pemerkosaan massal kerusuhan Mei ‘98. Salah satunya adalah dokumen hasil Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden ke-3 RI BJ Habibie.

Dalam rapat Fadli menyampaikan permintaan maaf jika dinilai kurang sensitif terhadap isu tersebut. Ia mengakui adanya tragedi pemerkosaan ‘98 dan mengutuknya, namun tidak sepakat dengan diksi ‘massal’. Menurutnya jika terdapat perbedaan pandangan terkait peristiwa "98, itu hanya pendapat pribadinya.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement