
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi IX DPR RI periode 2014-2024, Nurhayati Effendi, berharap pemerintah dapat mendengar tuntutan para buruh terkait dengan penghapusan sistem kerja outsourching hingga kenaikan upah yang mencapai 10,5 persen pada 2026.
Hal itu disampaikan Nurhayati menanggapi konsolidasi aksi yang dilakukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh menggelar konsolidasi di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (30/10/2025).
Konsolidasi tersebut mengusung tema Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (HOSTUM) untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh, termasuk tuntutan kenaikan upah hingga 10,5 persen pada 2026.
“Jangan lihat demo ini sebagai gangguan, lihatlah sebagai pesan. Masih banyak saudara kita yang berjuang untuk hidup yang layak. Negara yang besar bukan diukur dari megahnya gedung, tapi dari caranya menghargai rakyat yang bekerja di dalamnya,” jelas Nurhayati kepada awak media di Jakarta, Kamis,(30/10/2025).
Nurhayati menekankan, pemerintah harus mendengar dan mengakomodir tuntutan tersebut lantaran belum adanya kebijakan yang komprehensif terkait dengan kesejahteraan buruh. Nurhayati juga mendorong pemerintah untuk melakukan dialog dengan buruh sebelum adanya aksi unjuk rasa.
“Saya melihatnya belum seimbang. Pemerintah sudah berupaya, tapi komunikasi sering terlambat. Harusnya sebelum kebijakan diumumkan, ajak dulu buruh bicara. Dengarkan langsung dari mereka,” imbuh Nurhayati.
Nurhayati mengingatkan, apabila buruh di Indonesia tidak sejahtera maka ekonomi negara pun tak akan kuat. Nurhayati menegaskan, bahwa negara ini berdiri di atas keringat dan jerih payah para pekerja.
“Oleh sebab itu, saya mendorong pemerintah untuk memperbaiki formula upah minimum agar sesuai kebutuhan hidup layak. Lalu perkuat perlindungan sosial dan jaminan kerja, termasuk bagi yang kontrak.
Ketiga, benahi sistem outsourcing supaya tetap adil. Dan yang paling penting, jangan tunggu ada demo dulu baru berdialog,” imbuh Nurhayati.
Tak hanya itu ,Nurhayati meyakini, bahwa urusan nominal juga bukan menjadi hal penting. Karena, yang terpenting adalah apakah gaji tersebut mencukupi kebutuhan pokok keluarga.
“Apakah gaji itu bisa mencukupi kebutuhan pokok keluarga secara wajar: makan bergizi setiap hari, tempat tinggal layak, pendidikan anak, transportasi kerja, dan sedikit tabungan untuk keadaan darurat,” jelas Nurhayati.
Nurhayati menegaskan, yang harus menjadi acuan pemerintah adalah ukuran utamanya adalah soal Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bukan sekadar angka statistik. Bagi Nurhayati, kesejahteraan juga bukan hanya soal urusan angka.
“Kesejahteraan itu bukan hanya soal berapa yang diterima, tapi seberapa tenang, dihargai, dan punya masa depan seorang pekerja dalam hidupnya,” tandas Nurhayati.