Oleh Sahlan Ake pada hari Jumat, 21 Nov 2025 - 20:06:08 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengkaji Gagasan Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati

tscom_news_photo_1763730368.jpg
Anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP Otsus Papua), Yanni (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP Otsus Papua), Yanni, mengajukan gagasan soal peneguhan Papua sebagai "Tanah Injili yang Diberkati". Usulan ini ia sampaikan dalam Rapat Pleno Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang dipimpin Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Manokwari Papua Barat beberapa waktu lalu.

Yanni menyebut bahwa gagasan tersebut memiliki landasan historis, sosiologis, spiritual, dan juga kebangsaan, yang menurutnya penting untuk memperkuat martabat Papua dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Papua yang berada di ujung timur Indonesia bisa dikenali melalui identitas bermartabat, yakni Tanah Injili yang Diberkati. Peneguhan ini penting sebagai simbol integrasi spiritual dan kebangsaan," ujar Yanni di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Ia menegaskan bahwa predikat ini bersifat simbolik dan tetap memberi ruang bagi keberagaman agama yang ada di Indonesia.

Dasar Historis

Menurut Yanni, kedatangan Injil di Pulau Mansinam pada 1855 sebagai titik penting yang menentukan arah perjalanan modern Papua. Momentum itu memperkenalkan pendidikan formal, layanan kesehatan, dan tata administrasi yang terorganisasi.

Yanni mengacu pada pendekatan historical institutionalism, yang menempatkan momen awal (early event) sebagai penentu terbentuknya jalur sejarah (path) yang mempengaruhi perilaku, respons sosial, dan arah perubahan masyarakat.

Seiring waktu, institusi yang dibangun tokoh agama ini mengakar dan membentuk pola hubungan sosial, cara pengambilan keputusan, serta pandangan masyarakat terhadap perubahan. Jejak institusional tersebut dalam perjalannya terus mempengaruhi cara masyarakat Papua memaknai identitas dan masa depan mereka.

Peran gereja dalam pembangunan sosial juga menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah Papua. Berbagai institusi pendidikan dan kesehatan yang lahir dari misi gereja menegaskan bahwa spiritualitas Kristen merupakan kekuatan sosial yang mengangkat harkat dan martabat masyarakat.

"Warisan sejarah itu memberi legitimasi kuat bagi penegasan Papua sebagai tanah injili, karena nilai dan institusi yang hadir sejak abad ke-19 masih terus tumbuh hingga kini," katanya.

Landasan Sosiologis

Yanni menekankan bahwa wacana ini sejalan dengan pendekatan fungsional-struktural dalam sosiologi klasik, sebagaimana ditegaskan oleh Emile Durkheim, bahwa agama dan simbol-simbol kolektif memiliki fungsi sosial yang mendalam. Yakni memperkuat solidaritas sosial dan membentuk kesadaran moral bersama yang menjadi dasar kohesi masyarakat.

Durkheim menjelaskan bahwa setiap komunitas memerlukan representasi kolektif seperti simbol, nilai, atau keyakinan bersama yang memberi makna bagi kehidupan sosial. Simbol-simbol semacam ini dapat menjadi perekat sosial yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan identitas kolektif.

Papua, yang terbentuk dari keragaman suku, bahasa, dan wilayah, membutuhkan simbol pemersatu yang menegaskan nilai bersama. Dalam perspektif Yanni, simbol itu tidak bersifat eksklusif, tetapi berfungsi sebagai ruang sosial yang mengikat masyarakat dalam moralitas publik dan tanggung jawab sosial.

"Penobatan Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati dapat dipahami sebagai bentuk representasi kolektif, yakni simbol yang mengikat masyarakat Papua dalam identitas moral dan spiritual bersama," jelas Yanni.

Dimensi Spiritual

Papua dikenal luas sebagai wilayah dengan tradisi kekristenan yang kuat. Spiritualitas itu terlihat dalam kehidupan komunitas, ibadah, pelayanan sosial, dan karya-karya gereja yang terus hadir hingga kini. Yanni menilai spiritualitas ini telah membentuk karakter masyarakat Papua yang menghargai kasih, pelayanan, dan keterbukaan.

Penegasan sebagai Tanah Injili bisa dimaknai sebagai pengakuan terhadap sejarah spiritual yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat.

"Dalam keseharian masyarakat Papua, nilai Injil hadir dalam musyawarah jemaat, pembinaan generasi muda, hingga proses penyelesaian konflik. Praktik spiritual ini menjadi pedoman moral yang menata hubungan sosial masyarakat Papua," tegas Yanni.

Aspek Kebangsaan

Yanni menilai Papua perlu meneguhkan identitasnya dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Ia memandang predikat Tanah Injili yang Diberkati sebagai cara memperkuat posisi Papua dalam narasi nasional, sekaligus menegaskan bahwa keberagaman agama merupakan kekuatan utama Indonesia. Identitas lokal, dalam pandangan Yanni, akan memperkaya mosaik kebangsaan.

Ia mencontohkan bagaimana simbol "Serambi Mekkah" di Aceh dan "Pulau Dewata" di Bali telah diterima sebagai bagian dari warisan spiritual bangsa. Dengan cara yang sama, Papua dapat memiliki simbol identitas yang mengangkat martabat kultural dan sejarahnya sebagai bagian dari rumah besar Indonesia Raya.

"Penguatan identitas Papua sebagai Tanah Injili akan memperkokoh rasa memiliki terhadap negara, memperdalam integrasi sosial, dan menempatkan Papua sebagai bagian penting dalam kebhinekaan Indonesia," ujar Yanni.

Di akhir pernyataannya, Yanni menyampaikan ucapan selamat HUT Otsus Papua yang ke-24. Ia menegaskan bahwa Otonomi Khusus mesti dimaknai sebagai bentuk komitmen dan kecintaan negara terhadap Papua.

"Pada usia 24 tahun Otsus, Papua mengingatkan kita bahwa cahaya dari timur selalu membawa harapan bagi kejayaan bangsa Indonesia," pungkas Yanni.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement