JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan mengatakan bahwa tahun 2015, posisi utang pemerintah RI makin jor-joran.
Laporan Bank Dunia per tanggal 2 Desember 2015 menyebutkan bahwa pemerintah telah menerima 510,4 triliun rupiah dari penerbitan sekuritas dan 3,89 miliar dolar AS (sekitar 53 triliun rupiah) dari pinjaman resmi luar negeri, lanjut dia.
"Dengan demikian utang pemerintah bertambah 563 triliun rupiah. Besaran utang ini merupakan rekor terbanyak sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia," sindir Heri pada TeropongSenayan di Jakarta, Minggu (03/01/2016).
Selain itu, kata dia, makin besarnya utang, yang melebihi jumlah utang yang diproduksi pemerintah sebelumnya, membuat pemerintah Jokowi-Kalla makin jauh dari misi "Indonesia Bebas Dari Utang."
"Makin besarnya utang menjadi tanda suramnya visi Tri Sakti yang diusung pemerintah saat ini. Sudah tentu, RI makin tidak berdaulat karena setiap arah kebijakan sangat rawan dari intervensi," tandas dia.
Tak hanya itu, angka Debt Service Ratio (DSR) makin mencemaskan. Besarannya di atas 50%. Artinya, lebih dari setengah penerimaan negara (dari hasil ekspor) hanya habis untuk bayar utang, ungkap dia.
"Utang yang bertumpuk akan makin menyulitkan usaha untuk keluar dari defisit neraca dan transaksi berjalan yang hampir menyentuh angka 3%," ujar dia.
Selain itu, kata dia, utang yang membesar akan terus menjadi beban yang berlipat-lipat di tahun-tahun mendatang.
"Ketahanan ekonomi nasional rentan dan mudah runtuh. Apalagi, diprediksi nilai tukar rupiah akan menjadi yang terendah se-Asia. Utang yang menumpuk akan menyulitkan pemerintah menyusun APBN yang produktif dan pro rakyat. Karena sebagian besar hanya untuk bayar utang ditambah bunga," terang dia.
Posisi seperti itu akan menyempitkan "ruang gerak" fiskal untuk menggerakkan sektor-sektor riil dan produktif. Apalagi, kesenjangan kaya-miskin makin lebar. Sudah pasti, akan muncul kerawanan-kerawanan sosial yang tidak terperikan, ditambah dengan dinamika ekonomi politik yang semakin tidak stabil, pungkas dia. (Icl)