JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Partai Golkar mengalami penurunan tajam sekitar 7% pada era Ketua umum Jusuf Kalla. Hal ini karena saat itu posisi JK sebagai Wakil Presiden. "Jadi ini merupakan imbas dari situasi politik yang terjadi, di mana saat itu Pemerintahan SBY juga mengalami penurunan simpati publik," kata pengamat politik Hanta Yudha dalam diskusi "Golkar Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penyeimbang atau Dalam Kekuasaan" di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (23/12/2014).
Penurunan tajam ini, kata Hanta, harus menjadi perhatian bagi elite Partai Golkar. Karena bukan tidak mungkin dari konflik panjang itu bisa menurunkan suara Golkar pada Pemilu 2019. "Ini harus menjadi pekerjaan rumah ke depan, karena captive market menjadi semakin ketat," tambahnya.
Karena captive market makin kecil, lanjut dosen Universitas Paramadina itu, Partai Golkar harus menawarkan strategi lain. "Yang penting antar elit Partai Golkar jangan saling melemahkan. Karena ke depan, Golkar harus menentukan nasibnya sendiri, bukan ditentukan oleh pemerintah," terang dia.
Sementara itu kader Partai Golkar Ariady Achmad mengakui betapa pentingnya partai sekelas Golkar melahirkan tokoh-tokoh baru yang laku dijual. Namun tokoh saja tidak cukup, lanjut mantan anggota Komisi IX DPR, perlu wadah yang kuat. "Posisi saya yang berada di Munas Bali, karena kita ingin mengubah dari dalam," tuturnya.
Bagi Golkar, sambung Ariady, untuk melahirkan sejumlah tokoh bukanlah hal sulit. Karena Golkar memiliki sumber daya manusia yang cukup. "SDM Golkar bagus, tapi kalau wadahnya tidak kuat, ya percuma. Saya melihat mereka yang hadir di Munas Ancol, bukan karena partisipasi, namun lebih kepada mobilisasi," pungkasnya. (ec)