JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Anggota Komisi IV DPR Akmal Pasluddin menilai potensi Blue Carbon (karbon biru) yang ada di laut Indonesia selama ini belum tergarap serius oleh pemerintah.
Padahal, persoalan Blue Carbon yang menjadi isu sentral dalam Conference of the Parties ke-22 (COP 22) di Maroko ini, sangat berpotensi dalam mendukung program nasional untuk penurunan emisi, ketahanan pangan, hingga pengentasan kemiskinan.
"Kekayaan pantai dan laut Indonesia, telah menjadikan sorotan dunia akan pengendalian perubahan iklim pada potensi Karbon Biru (Blue Carbon) yang selama ini belum tergarap serius," kata Akmal kepada TeropongSenayan, di Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Diketahui, baru-baru ini, Indonesia bersama pemimpin dunia menyepakati COP 22 di Maroko dalam rangka membahas implementasi Perjanjian Paris sebelum dan pasca 2020. Meskipun demikian, Perjanjian Paris yang diselenggarakan tahun lalu tersebut, lebih menekankan pada peranan ekosistem hutan, sebagai kelanjutan dari COP 11 di Montreal, Kanada, tahun 2005 dan COP 13 di Bali tahun 2007.
Oleh karenanya, Akmal menegaskan, Indonesia berpotensi memaksimalkan Blue Carbon karena potensi alam yang dimilikinya. Akmal memaparkan, setidaknya Indonesia memiliki bentangan pantai yang sangat panjang, terpanjang kedua setelah Kanada yakni 99.093 kilometer.
Pada jalur untuk menempuh penurunan emisi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, menjadi pertimbangan penting mengaktivasi fungsi ekosistem laut dan mangrove.
Selain itu, ekosistem yang mendapat perhatian untuk mengendalikan perubahan iklim adalah mangrove, padang lamun dan kawasan payau. Sebab, Indonesia memiliki potensi mangrove seluas 3,11 juta hektar dan padang lamun 3 juta hektar.
"Selama ini banyak keputusan negara ini yang sangat strategis bagi dunia, namun gagal melakukan eksekusi sehingga cibiran dari negara luar sering berdatangan. Begitu juga pada konsep karbon biru ini. Potensi besar yang belum tergarap ini jika tidak digarap serius, maka akan menjadi sia-sia belaka," jelasnya.
Akmal juga menambahkan, bahwa Peranan ekosistem pesisir dan laut dalam First Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia telah terintegrasi dalam mitigasi dari sektor lahan. Namun hal-hal teknis yang belum digarap perlu dukungan semua pihak.
"Dorongan DPR pada regulasi dan implementasi eksekutif yang memiliki kuasa anggaran akan memberikan percepatan yang signifikan pada pelaksanaan pengelolaan karbon biru ini," ungkapnya.
Untuk itu, Akmal menyarankan agar koordinasi antar kementerian dan pemangku kepentingan mesti harus terus terjalin untuk mencapai tujuan pengendalian iklim melalui Karbon Biru ini. Kesenjangan komunikasi antara pengambil kebijakan dan para peneliti mengenai Karbon Biru ini harus diperkecil, guna menyusun peta jalan (Road Map) penerapan dari Karbon Biru.
"Saya berharap konsep pengelolaan karbon biru ini bukan sekedar jargon. Upaya serius harus terus diupayakan semua pihak. Saya akan mendorong melalui DPR, dan semoga pemerintah terus melakukan upaya penyiapan infrastruktur pendukung dan tehnis pelaksanaannya. Karena bila ini hanya sebagai dokumen saja, maka upaya pengendalian iklim di masa mendatang hanya sia-sia belaka," pungkasnya. (plt)