JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pimpinan Rumah Amanah Rakyat (RAR) Ferdinand Hutahaean meminta Presiden Jokowi dan para pembantunya mundur jika tak mempunyai kemampuan menegakkan undang-undang dalam memberhentikan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama.
"Bagaimana mungkin Presiden akan mampu melaksanakan sumpah jabatannya yang wajib melaksanakan Undang-undang selurus-lurusnya jika tidak paham makna dan esensi UU yang sudah terang benderang?," sindir Ferdinand Hutahaean di Jakarta, Kamis (09/02/2017).
Dikatakannya, semua pasal-pasal didalam KUHP yang mengandung ancaman hukuman pasti berbunyi sama yaitu diancam dengan hukuman penjara atau kurungan paling lama. Itulah yang disebut ancaman hukuman.
Perlu dipahami juga, terang dia, karena kadar kejahatan terdakwa itu berbeda-beda motif dan peristiwanya, ada yang sengaja dan ada yang tidak sengaja yang sering disebut lalai.
Maka tentu tuntutan hukuman kepada terdakwa yang secara sengaja dan berencana melakukan kejahatan berbeda dengan tuntutan terhadap terdakwa yang karena kelalaiannya menjadi terdakwa, ucapnya.
Tentu yang sengaja dan berencana, kata dia, akan dituntut lebih berat atau dituntut dengan hukuman maksimal sebagaimana ancaman hukuman maksimal yang diatur didalam KUHP, dan yang karena tidak sengaja atau karena lalai dituntut lebih ringan dari ancaman hukuman.
Sangat jarang, ungkap dia, terdakwa dituntut hukuman maksimal sebagaimana dalam ancaman hukuman kecuali yang dengan sengaja, berencana dan tidak menyesali perbuatannya.
Menurutnya, ancaman hukuman adalah hal yang berbeda dengan tuntutan. Ancaman diatur dalam KUHP dan tuntutan direncanakan dan dibahas oleh Jaksa Penuntut Umum dengan menyusun Rencana Penuntutan atau sering disebut dengan Rentut.
"Sehingga sudah terlalu bodoh jika pemerintah tidak memahami ini. Dengan demikian, alasan pemerintah menunggu tuntutan jaksa adalah hal terbodoh dalam sejarah bangsa ini,".
"Pemerintah menjadi pikun dan lupa atas keputusan-keputusan yang pernah dilakukannya kepada kepala daerah yang lain yaitu dinonaktifkan saat menjadi terdakwa, namun menjadi lain ketika untuk Ahok," sindirnya.
Selain itu, kata dia, Pemerintah akan melakukan diskriminasi penegakan hukum, dan pemerintah jelas akan melanggar UU jika tidak menonaktifkan Ahok.
Diingatkannya, Jangan mensiasati penegakan hukum dengan retorika kata-kata yang justru menunjukkan bahwa pemerintah tidak netral dalam pilkada ini dan pemerintah bahkan berani melanggar UU hanya untuk Ahok.
"Bangsa ini akan hancur jika pemerintahnya tidak menegakkan hukum secara benar, lurus dan berkeadilan,"
"Kita berharap bahwa Presiden tidak akan melakukan hal yang konyol melanggar UU terkait apapun apalagi hanya untuk Ahok, seorang terdakwa," ujar dia.
Sebaiknya, kata dia, Presiden harus berdiri digaris depan untuk penegakan hukum dan UU, bukan malah membelokkan makna UU sesuai selera sendiri yang berbasis penafsiran sesat dan salah.
"Dan jika kemudian Presiden tetap tidak menonaktifkan Ahok sebagai terdakwa yang diancam hukuman 5 tahun, maka Presiden sebaiknya mengundurkan diri atau DPR memproses pemakzulan presiden karena telah melanggar UU dan tidak netral dalam pilkada Jakarta," pungkasnya. (icl)