JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini menolak orang partai dibolehkan menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ia meminta Pansus RUU Pemilu membaca kembali proses perubahan dan penyusunan pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945, yang menyebut eksplisit salah satu sifat lembaga penyelenggara Pemilu adalah 'mandiri'.
"Makna kata mandiri di dalam pasal dan ayat tersebut dapat dilacak di dalam risalah perdebatan amandemen UUD NRI 1945 tahun 2001. Bahwa munculnya kata mandiri dimaksudkan untuk melepaskan KPU dari keanggotaan partai politik," ujar Titi Angraini saat dihubungi TeropongSenayan, Rabu (22/3/2017).
Ia mencontohkan, dalam Pemilu 1999 yang terdiri dari perwakilan anggota partai politik peserta Pemilu ditambah dengan perwakilan pemerintah justru menimbulkan banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu.
Hal yang paling mendasar tentu saja soal kepentingan yang berbeda antara kelembagaan KPU dengan perwakilan partai politik yang merangkap menjadi anggota KPU.
"KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, hal utama yang mesti dilakukan adalah memfasilitasi pemilih secara adil dan demokratis untuk bisa menyalurkan pilihannya kepada orang yang akan menjadi wakil mereka. Sementara partai politik peserta pemilu, punya kepentingan untuk memenangkan pemilihan. Inilah yang menjadi pengalaman yang tidak baik di dalam penyelenggaraan Pemilu 1999," ungkapnya.
Untuk itu, ia meminta agar Pansus RUU Pemilu sadar, disisa waktu yang sangat singkat, fokus utama mereka sebaiknya menyelematkan Pemilu 2019. Beberapa hal yang perlu dipikirkan adalah dan segera dituntaskan adalah terkait dengan desaian Pemilu Serentak 2019.
"Pedoman utama dalam menyusun UU adalah konstitusi dan Putusan MK. Pansus RUU Pemilu tidak boleh keluar dari pakem itu," tegasnya.(yn)