JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Adanya dua hasil audit yang berbeda yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), mendapat sorotan luas dari berbagai kalangan.
Sebelumnya akademisi dan Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa mengatakan, audit investigatif BPK pada 25 Agustus 2017 bisa batal demi hukum, jika dalam pembuktian nantinya majelis hakim Tipikor menemukan adanya penyimpangan.
Sebab, audit tersebut berbeda hasilnya dengan audit sebelumnya, yang keluar pada tahun 2006, yang mengatakan bahwa tidak ada unsur kerugian negara dalam menilai kerja BPPN yang dibubarkan pada tahun 2004.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI, Chaerul Saleh mengaku heran dengan dua hasil audit yang berbeda tersebut.
Pada tahun 2006 dibilang tidak ada kerugian negara. Namun pada tahun 2017, dikatakan ada unsur kerugian negara.
“Ada apa?, kok lembaga yang sama bisa menghasilkan dua audit yang berbeda hasilnya. Bagaimana publik mau percaya kalau BPK adalah lembaga yang kredibel,” sindirnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (29/5/2018).
Dengan adanya dua hasil audit berbeda tersebut, menurut Chairul, ada permasalahan serius yang tengah terjadi di BPK.
"Mengenai hasil audit yang berbeda-beda, saya kira ini ada persoalan serius. Kredibilitas BPK sebagai lembaga negara yang mempunyai pertanggungjawaban publik akan dipertanyakan," tandasnya.
Menyikapi hal tersebut, Chairul berjanji bahwa pihaknya akan mempertanyakan dalam rapat dengan BPK. Apa yang menjadi dasar bagi BPK melakukan audit investigatif.
Apalagi, dalam audit kedua pada tahun 2017, audit dilakukan tanpa adanya audite dalam hal ini adalah terperiksa yang menjadi obyek audit.
“Kalau bahan-bahan yang digunakan sekunder bukan data primer, maka patut dipertanyakan hasil auditnya,” tegas Politikus Gerindra itu.
Ditempat terpisah, pakar hukum tata negara Margarito Kamis, juga menyoroti proses dan hasil audit BPK.
Dalam pandangannya, audit tersebut terkesan hanya menghitung selisih angka penjualan untuk menentukan adanya unsur kerugian negara.
Menurut Margarito, yang terpenting dalam audit investigatif adalah soal bahan atau material yang digunakan dalam melakukan audit.
“Semua harus diperiksa, dari mulai dokumen, surat-surat, laporan-laporan, itu yang mesti di cek. Jangan cuma menghitung selisih, itu bukan kesimpulan namanya,“ jelas Margarito.
Selain itu apakah dalam melakukan audit sesuai dengan prinsip-prinsip ketaatan dalam mengikuti panduan yang diterbitkan oleh BPK sendiri.
“Ada panduan audit yang harus diikuti oleh auditor, yang merupakan payung hukum, yakni peraturan BPK No 1 tahun 2017, “ jelas Margarito.
Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa suatu laporan audit harus menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa (audite).
Kalau data yang digunakan dalam mengaudit tidak valid, maka hasilnya juga tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan seseorang menjadi tersangka. Kesimpulan dari data yang tidak valid akan sangat fatal akibatnya.
“Kalau datanya tidak valid maka hasilnya pun tidak valid, kesimpulanya juga tidak valid,” tutur Margarito.
Hasil dari audit yang tidak valid, tidak bisa digunakan untuk memperkuat dakwaan terhadap Syafruddin Temenggung.
Adanya audit BPK terhadap BPPN yang laporannya muncul pada tahun 2017, merupakan audit investigatif yang dilakukan atas permintaan penyidik KPK.
“Maka penyidik harus menyiapkan semua data-data baik, primer maupun sekunder, yang merupakan bahan menyeluruh. Bukan semata-mata hanya menghitung selisih angka, kemudian menentukan adanya kerugian negara,” jelas Margarito.
Terkesan kalau hanya selisih angka, audit dilakukan hanya untuk memperkuat dakwaan. Seperti yang terungkap dalam fakta persidangan, bahwa BPK pada Agustus 2017 telah menyampaikan potensi perhitungan kerugian negara sebesar Rp 4,58 Triilyun.
Perhitungan oleh BPK dilakukan pada tahun 2017, sedangkan sebelumnya BPPN telah dilakukan audit lengkap oleh BPK tahun 2006 dan tidak ditemukan adanya potensi kerugian negara.
Adanya temuan BPK tahun 2017 terjadi karena hak tagih Rp 4,8 Trilyun, telah dijual oleh menteri keuangan/PPA pada tahun 2017 sebesar 220 Milyar.
Inilah yang disebut oleh Margarito, BPK hanya sekedar menghitung selisih dalam audit investigatif.
Sementara itu, Ahmad Yani, tim kuasa hukum Syafruddin Temenggung mengatakan, kalaupun ada potensi kerugian negara yang melaksanakan penjualan bukan ketua BPPN, Syafruddin Temenggung, tetapi menteri keuangan dan PT PPA dan waktu penjualannya setelah BPPN tutup pada tahun 2004.
Ketika BPPN tutup hak tagih sebesar Rp 4,8 Trilyun utuh diserahkan kepada menteri keuangan.
“Kalau misalnya penjualannya oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2007, tidak sebesar Rp 220 Milyar, misalnya 1 Trilyun, mungkin hitungan kerugian negaranya juga berbeda,” jelas Ahmad Yani.
Karena itu soal potensi kerugian negara, pihaknya yakin bahwa subyek hukum dan tempus delicti tidak terkait dengan Syafruddin Temenggung.
“Sudah bukan tanggung jawab klien kami, karena tempus delictinya juga berbeda,” tegas Ahmad Yani.
Apalagi dalam sidang pengadilan dengan agenda, mendengarkan tanggapan jaksa, dirinya melihat secara substansial, jaksa KPK mengakui ekspesi yang disampaikan oleh tim kuasa hukum.
“Tinggal bagaimana nanti kita mendengar putusan hakim,” pungkas Ahmad Yani. (Alf)