JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan tim hukum Prabowo-Sandiaga direspon berbeda, Capres Joko Widodo-Ma"ruf Amin mengapresiasi hasil itu, dan membuka peluang bagi kubu Prabowo untuk ikut andil dalam pemerintahan. Hal berbeda ditunjukkan Prabowo yang justru tidak mengakui kemenangan Jokowi.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Komunikasi Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah, ia menilai pidato Prabowo menegaskan jika kubu 02 tetap konsisten dengan keyakinan mereka adanya Pemilu curang.
"Satu sisi menghormati putusan MK, sisi lain tidak mengakui kemenangan Jokowi. Hal ini membuktikan Prabowo konsisten dengan keyakinan bahwa Pemilu curang. Dari sisi politis ini bisa merugikan Gerindra di masa mendatang," ujar Dedi, Kepada TeropongSenayan, pada Jum"at (28/06/2019).
Menurut Dedi, sikap tidak menerima kemenangan Jokowi ini bisa berimbas ke citra Gerindra di mata publik. Menurutnya, Gerindra akan dianggap sebagai partai yang tidak dewasa dalam menyikapi proses demokrasi, dan bisa saja kehilangan simpati publik pada Pemilu berikutnya.
"Keputusan MK seharusnya dijadikan momentum puncak, Prabowo harus lihat jangka panjang, ketika ia merunduk dan mengakui kekalahan, sebenarnya ia sedang memulai kemenangan, ia akan dianggap ksatria, dan publik akan mengingat itu di 2024," ucap Dedi.
"Sikap tidak terima Prabowo ini membuat momentum puncak ini anti klimaks, sangat disayangkan karena ia gagal menjadi replika tokoh politik kesatria," imbuhnya.
Selain itu, pengamat yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik (PSDPP) ini melihat akan ada perubahan peta koalisi. Menurutnya, koalisi oposisi akan berkurang, dan kondisi itu telah ditunjukkan oleh Demokrat dan PAN.
"Peta politik berubah, Demokrat dan PAN berpotensi keluar. Tetapi tidak lantas bergabung petahana, karena koalisi petahana sudah cukup besar, juga sulit menerima anggita baru. Paling mungkin hanya akan menjadi Parpol diluar koalisi, dalam politik disebut kohabitasi, tidak miliki ikatan formal koalisi, tetapi bisa saja mendukung pemerintah," bebernya.
Ketika disinggung soal langkah Prabowo yang akan meneruskan hasil Pemilu ke Mahkamah Internasional (MI), Dedi pesimis hal itu dilakukan, selain sulit mendapat persetujuan semua anggota koalisi, juga karena berpeluang kecil.
"Rasanya sulit terwujud, Prabowo harus berpikir ulang, ini bukan soal dirinya sendiri tetapi ada anggota koalisi yang mungkin sudah lelah dan menerima keputusan MK. Meskipun memang selama ini kita bisa melihat Prabowo dominan sekali one man show-nya," pungkasnya. (ahm)