JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Salah satu bakal calon (balon) Ketua Umum (Ketum) Golkar, Ali Yahya meminta DPP Golkarsegera menggelar rapat pleno untuk menrntukan jadwal penyelenggaraan musyawarah nasional (Munas).
Ali mengatakan, menggelar rapat pleno lebih penting ketimbang Ketum Golkar Airlangga Hartarto keliling DPD untuk meminta dukungan.
Ali menjelaskan penetapan waktu munas ditentukan melalui rapat pimpinan nasional (rapimnas). Waktu rapimnas sendiri diputuskan dalam rapat pleno.
"Hemat saya, sebaiknya melakukan rapat pleno secepatnya, ketimbang Ketua Umum keliling ke beberapa daerah minta dukungan untuk maju kembali sebagai Ketua Umum. Padahal pemilihan Ketua Umum itu dilakukan dalam Musyawarah Nasional," kata Ali kepada wartawan, Jumat (2/8/2019).
Selain meminta rapat pleno segera digelar, Ali juga menyinggung soal surat Dewan Pembina (Wanbin) Golkar yang meminta pengurus DPP menentukan jadwal rapat pleno. Surat tersebut dikeluarkan Wanbin Golkar pada 25 Juni 2019 lalu.
"Dewan Pembina, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ART (Anggaran Rumah Tangga), telah memberikan petunjuk, pertimbangan, saran dan nasihat untuk secepatnya melakukan evaluasi melalui rapat pleno, yang menurut ketentuan pada pasal tersebut, ayat (3) harus "diperhatikan dengan sungguh-sungguh", ternyata belum juga direspons dan ditindak lanjuti oleh DPP Partai Golkar. Ada apa gerangan?" tutur Ali.
Menurut Ali, munas Golkar biasanya digelar tanggal 20 Oktober. Namun, karena tahun ini bertepatan dengan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, maka kemungkinan jadwal munas akan dimajukan.
"Siklus lima tahunan, meskipun tidak dicantumkan dalam AD/ART secara khusus tentang bulannya, karena menjadi kewenangan rapimnas, maka bisa mempergunakan "konvensi", yang kebiasaan Partai Golkar menyelenggarakan munas itu pada pertengahan bulan Oktober, yang diakhiri dengan peringan hari ulang tahun Partai Golkar, 20 Oktober," papar Ali.
"Namun, karena 20 Oktober 2019 bersamaan dengan pelantikan presiden dan wakil presiden Terpilih, maka bisa dimajukan beberapa hari atau beberapa hari setelah pelantikan, yang intinya "sesuai konvensi" dilaksanakan pada bulan Oktober 2019," imbuhnya.
Tak hanya soal pleno dan munas, Ali juga bicara soal pengurus DPP Golkar yang merangkap jabatan di daerah. Dia menyebut hal tersebut telah melanggar anggaran rumah tangga Golkar.
"Kenyataan menunjukkan, adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (2) ART ini, banyak unsur ketua DPP dan pengurus DPP yang merangkap jabatan sebagai Plt Ketua DPD Provinsi. Sementara itu, tidak ada ketentuan dalam AD dan ART Partai Golkar yang mengatur tentang Plt Ketua," jelasnya.
"Lalu dasarnya dari mana DPP menetapkan Plt? Menurut hemat saya, sesuai ketentuan AD/ART Partai Golkar hasil Munaslub 2016, terhadap adanya kekosongan ketua provinsi atau ketua kabupaten/kota, harus segera dilaksanakan Musyawarah Daerah sesuai tingkatannya," terang Ali.Ali memaparkan, Plt Ketua DPD Provinsi dan ke bawahnya, diatur melalui peraturan organisasi pada kepemimpinan Aburizal Bakrie, masa bakti 2009-2014, yang mengacu pada AD/ART hasil Munas 2009 di Pekanbaru. Berdasarkan perubahan AD/ART hasil Munaslub 2016 di Bali, tidak lagi mengatur tentang Plt.
"Bila mengacu pada ketentuan tersebut, maka "wajar" apabila daerah, provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota yang masih dijabat oleh Plt tidak memperoleh hak suara dalam munas," lanjutnya.
Jika merujuk penjelasan tersebut, sambung Ali, ada sejumlah Plt Ketua DPD yang tidak berhak memperoleh suara dalam pemilihan ketum. Sementara ART Golkar mengatur syarat untuk menjadi ketum.
"Dalam ketentuan ART Pasal 12, ayat 4, butir a, disebutkan, bahwa salah satu syarat menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, didukung oleh minimal 30 persen pemegang hak suara," ucapnya. (Alf)