JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Lockdown kini menjadi langkah yang populer diterapkan oleh sejumlah kepala pemerintahan sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus Corona – penyebab COVID-19.
Namun di beberapa negara dianggap gagal. Italia misalnya, meski sudah diterapkan penguncian selama 3 minggu, angka kematian tetap saja bertambah. Lonjakan signifikan kasus COVID-19 tetap saja terjadi. Bahkan dampak efek negatif, banyak warga kesulitan mendapatkan makanan, obat-obatan, bahkan untuk mengambil uang tunai.
Belakangan ini, terjadi pula di India. Selama 21 hari lockdown secara nasional, korban ekonomi semakin dalam. banyak pekerja migran yang kelaparan dan memaksa yang terpaksa meninggalkan kota dan berjalan ratusan kilometer ke desa-desa asli mereka.
Kritik bertubi-tubi ditujukan kepada Perdana Menteri India, Narendra Modi. Modi pun merasa sebagai orang yang paling bersalah. "Saya pertama-tama ingin meminta maaf kepada semua warga negara saya," kata Modi dalam pidato radio nasional (28/3/2020).
Ia meminta warganya untuk memahaminya, karena tidak ada pilihan lain. "Langkah-langkah yang diambil sejauh ini ... akan memberi India kemenangan atas Corona," sambungnya, seperti dikutip situs reuters.com (29/3/2020).
Langkah lockdown yang diterapkan Modidinilaitak bergitu efektif. Jumlah kasus COVID-19 terus bertambah. Hingga Minggu ini, tercatat 987 kasus dan 25 kematian. Padal tiga hari sebelumnya, ketika lockdown masih diterapkan, jumlah kasusnya baru 693 dan yang meninggal dunia 13 orang.
Pemerintah sebelumnya mengumumkan rencana untuk meluncurkan paket stimulus ekonomi US$22,6 miliar atau dengan kurs Rp15.000 per dolar AS sebesar Rp339 triliun. Bentuknya bantuan langsung tunai dan pemberian makanan kepada warga miskin.
Jumlah dana tersebut ditaksir akan terus meningkat apabilajangka waktu lockdown diperpanjang.
Selain India, Italia, Singapura juga menerapkan lockdown lewat penutupan perbatasan dengan Malaysia. Negeri jiran itu juga tak berhasil menghambat peningkatan kasus COVID. Penguncian juga tak membuat warganya untuk tetap di rumah.
Semua itu tinggal tergantung kekuatan ekonomi negara masing-masing dan tentu rakyatnya. Jika rakyatnya berkemampuan mungkina bisa bertahan hidup sampai 1-2 bulan. Tetapi bagaimana dengan rakyatnya yang miskin?