JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi Hukum DPR RI, M Nasir Djamil menilai Presiden Jokowi tidak teliti saat menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Pasal 27 dalam Perpu yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona.
Ia melihat Perpu tersebut memberikan keistimewaan kepada pejabat tertentu untuk kebal hukum. Padahal hukum secara universal mengutamakan prinsip "equality before the law" atau setiap orang sama di hadapan hukum.
Hal ini, kata Nasir, dalam penutup Perpu yang cendrung menjadi alasan pembenar dilakukannya tindakan yang berpotensi terjadi korupsi. Dalam pasal 27 ayat 1 misalnya terkait biaya yang telah dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi ini, termasuk di dalamnya kebijakan di bidang perpajakan, keuangan daerah, pemulihan ekonomi nasional bukanlah merupakan kerugian negara.
"Ada indikasi kalau Perppu ini dirancang dan dimanfaatkan untuk menyelamatkan orang-orang tertentu. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi virus corona berasal dari pajak dan keringat rakyat. Ada kesan Perpu itu menegakkan hukum dengan melanggar hukum," ujar Nasir dalam pesan singkatnya, Kamis (2/4/2020).
Politisi PKS itu heran kenapa ketentuan seperti itu bisa lolos dalam Perpu. Padahal dalam menjalankan kebijakannya, pejabat pemerintah diharuskan mengutamakan prinsip kehati-hatian. Bagaimana mungkin, lanjutnya, ada ketentuan hukum yang sekaligus berfungsi sebagai hakim.
"Ketentuan ini bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 yang jelas menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya institusi yang menilai adanya kerugian negara dan besarannya," ujar Nasir.
Disamping itu, lanjutnya, pasal 59 ayat 1 UU Perbendaharaan Negara juga mengatur bahwa kerugian negara dapat terjadi karena kelalaian pejabat negara. Adanya pasal "kebal hukum" itu, tentu akan meloloskan pejabat yang terindikasai koruptif saat menerapkan kebijakannya dalam mengatasi pandemi virus corona.
Dikatakan Nasir, ketentuan pada ayat 2 itu juga absurd karena di dalam ayat ini ada kalimat yang berbunyi "tidak dapat dituntut maupun dipidana jika dalam melaksanakan tugas yang didasarkan pada iktikad baik”. Ketentaun ini aneh tapi nyata.
"Pertanyaannya yang bisa menilai iktikad baik atau bukan itu tentu penegak hukum. Apakah itu sifatnya diskresi atas suatu tindakan yang bisa menyelamatkan bangsa, namun bukan berarti tidak bisa disentuh oleh hukum," pungkas Nasir.
Nasir juga menyinggung UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang membatasi diskresi (atau tindakan) tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.
Saat ini juga sudah ada Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dalam hal ini keadaan bahaya seperti bencana alam, ancaman hukumannya itu pidana mati.
Perpu ini telah berfungsi seperti tembok besi yang menghalangi penerapan pasal hukuman mati itu.
Keanehan lainnya, lanjut Anggota DPR asal Aceh ini tambah, ada di dalam ayat 3 Perppu tersebut, dimana keputusan yang diambil tidak bisa digugat dan menjadi objek TUN. Ketentuan jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 tentang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam Undang-Undang itu dijelaskan apa yang dimaksud dengan keputusan tata usaha negara. Jelasnya, sambung Nasir, keputusan yang diambil terkait dengan pandemi virus corona pasti keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit , individual, dan final.
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Presiden, saya meminta agar ketentuan penutup dalam Perpu tersebut segera dikoreksi. Presiden harus waspada dengan ketentuan yang bersifat "jebakan batman" dan terkesan kebal hukum," tutup Nasir Djamil.