JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Terus meningkatnya jumlah kasus COVID-19 di Jepang, memaksa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan Jepang dalam keadaan darurat. Namun keadaan darurat tidak diberlakukan secara nasional.
Abe hanya menetapkan 7 kota utama yang terdampak wabah COVID-19. Kota itu adalah ibukota Tokyo, Chiba, Kanagawa, Saitama, Osaka, Hyogo, dan Fukuoka. Penduduk di 7 wilayah itu menguasai 44% total populasi Jepang.
Penentuan itu diputuskan setelah Abe berkonsultasi lebih dulu dengan parlemen sebelumnya. "Kami telah memutuskan untuk menyatakan keadaan darurat karena kami telah menilai bahwa penyebaran cepat virus Corona secara nasional akan memiliki dampak besar pada kehidupan dan ekonomi," katanya kepada parlemen.
Ia berharap semua warga Jepang bisa bekerjasama dan mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang.
"Jika masing-masing dari kita dapat mengurangi kontak dengan orang lain setidaknya 70%, kita dapat melihat puncak infeksi (COVID-19) dalam dua minggu," katanya seperti dikutip situs channelnewsasia.com (7/4/2020).
Karena karantina wilayah berdampak pada kehidupan sosial ekonomi, Abe pun mengeluarkan stimulus Y108 triliun (US$990 miliar) – atau sekitar Rp15.840 trilun dengan kurs Rp16.000 per US$.
Dalam paket itu, pemerintah menyebut pandemi sebagai "krisis terbesar" yang dihadapi ekonomi global sejak Perang Dunia II.
Abe mengatakan pengeluaran fiskal negaranya akan berjumlah Y39 triliun, atau 7% dari ekonomi, lebih dari dua kali lipat jumlah yang dikeluarkan Jepang setelah runtuhnya Lehman Brothers pada 2008.
Pada awalnya, Jepang terhindar dari wabah besar virus Corona. Namun terjadinya peningkatan infeksi baru-baru ini di Tokyo, Osaka, dan daerah-daerah lain menyebabkan meningkatnya permintaan agar Abe mengumumkan keadaan darurat.
Senin lalu (6/4/2020) tercatat 3.906 kasus di Jepang dengan 92 orang meninggal dunia.