JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Sebanyak 14 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang diduga menjadi korban eksploitasi kapal milik China akan tiba di Indonesia Jumat ini (8/5/2020). "Pagi ini, saya lakukan pembicaraan per telepon dengan 14 ABK WNI yang bekerja di kapal RRT," tulis Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi lewat twitter.
Menurut Retno, mereka dalam keadaan sehat dan sudah berada di Bandara Incheon (Korea Selatan) untuk kembali ke Indonesia. "Mereka didampingi tim KBRI Seoul. Semoga perjalanan mereka lancar," katanya.
Sebelumnya, Retno menjelaskan bahwa terdapat 15 ABK yang ada di Busan, Korea, di mana satu di antaranya meninggal. Retno mengatakan KBRI juga akan berkoordinasi untuk memfasilitasi korban meninggal berinisial E tersebut.
Retno juga memanggil Dubes China di Jakarta untuk menyampaikan keprihatinan pemerintah Indonesia atas permasalahan ABK WNI di kapal China.
Kabar mengenai dugaan eksploitasi di kapal penangkap ikan China menjadi viral setelah diberitakan oleh media Korea Selatan, MBC, pada Selasa. ABK mengaku mendapat perlakuan yang tidak adil di atas kapal, mulai dari tidak diberi minum yang layak hingga bekerja selama 18-30 jam dengan waktu istirahat minim. Lima ABK di antaranya bahkan mengaku digaji dengan nominal yang sangat rendah, yaitu hanya US$ 120 atau sekitar Rp 1,7 jutaan setelah bekerja 13 bulan.
Perlindungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan siap memberikan perlindungan kepada anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang megalai perbudakan hingga perdagangan orang dalam kapal penangkap ikan berbendera Cina, Long Xing.
LPSK akan melakukan tindakan proaktif dalam kasus ini. Selain itu, LPSK siap bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kepolisian, untuk memberikan perlindungan kepada ABK WNI yang telah mengalami peristiwa nahas itu.
"LPSK akan ambil bagian, mulai dari proses pemulangan para ABK di kapal asing itu ke Tanah Air hingga pendampingan proses hukumnya nanti, " kata Hasto Atmojo, Ketua LPSK, Jumat (7/5).
"Kami akan menjemput sejumlah ABK yang pulang ke Indonesia, Jumat, (8/5/2020) ke bandara," ujar Hasto.
Menurut Hasto, LPSK sudah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang peristiwanya mirip dengan kasus yang dialami oleh 18 ABK kapal Cina. Salah satunya adalah kasus perbudakan di Benjina, Maluku, pada medio 2015 lalu yang juga ditangani oleh LPSK. Kasus ini sempat menyita perhatian publik, bahkan hingga di luar negeri.
Tragedi yang dialami oleh 18 ABK di kapal Cina seperti yang banyak diberitakan media, itu jelas menunjukkan adanya indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk itu, Hasto berharap agar pihak kepolisian untuk menulusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK ke kapal Cina tersebut, serta mengambil tindakan tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menyatakan, kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi. Selain kasus di Benjina, LPSK pernah beberapa kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan yang terjadi dengan ABK di kapal Long Xing, di antaranya kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan, dan Belanda.
Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat.
"Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019," ujar Edwin.
Dari pengalaman LPSK melakukan investigasi kasus TPPO, khususnya pada sektor kelautan dan perikanan, ditemukan fakta banyaknya perlakukan tidak manusiawi yang dialami oleh para korban. Biasanya korban mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, tindakan kekerasan dan penganiayaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.
"Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan air minum yang layak, mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air AC," ungkap Edwin.