JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Dalam regulasi tersebut, Jokowi memiliki kewenangan penuh sebagai presiden untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS.
Menanggapi hal tersebut Anggota Komisi aparatur negara (Komisi II) DPR, Teddy Setiadi mengungkapkan, dalamPP yang lama, yakni PP 11/2017, sebenarnya telah mengatur pemberhentian PNS dengan beberapa ketentuan, diantaranya pemberhentian atas permintaan sendiri, karena mencapai batas usia pensiun, dan karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah.
Namun, ia tidak mengira Presiden Jokowi mengubah ketentuan itu dengan mengandalkan perannya sebagai Presiden untuk merombak jabatan struktural ASN. Ketentuan yang sentralistik ini layaknya sebuah kerajaan di mana pangkat seorang pejabat di lingkungan pemerintahan hanya dapat dikendalikan oleh penguasa.
TEROPONG JUGA:
>Transportasi Diizinkan Beroperasi, Teddy: Potensi Penyebaran Virus Kian Terbuka
"Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS," kata Teddy mengutip Pasal 3 Ayat 1 PP 17/2020 tersebut.
Terdapat dua aturan krusial yang menjadikan Presiden memiliki hak berwenang untuk menentukan, mengangkat, dan mencopot aparatur sipil negara (ASN).
1. Pasal 3: Jokowi dapat mendelegasikan kewenangan
Dalam ayat (2) pasal ini memang disebutkan Presiden dapat mendelegasikan kewenangan di atas pada menteri, pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian, sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan nonstruktural, gubernur hingga bupati/wali kota di tingkat kabupaten kota.
Namun diakhir ayat pasal ini, yakni ayat (7), terdapat ketentuan yang begitu mencolok. Pasal baru itu berbunyi:
"Pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditarik kembali oleh Presiden dalam hal:
a. Pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan oleh PPK (penilaian prestasi kerja); atau
b. Untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan."
2. Pasal 106: Berhak menentukan JPT dari kalangan PNS atau Non PNS
Jokowi juga mengubah persyaratan jabatan pimpinan tinggi (JPT) di Pasal 106. Di PP lama, dijelaskan bahwa JPT utama dan JPT madya di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lain yang ditetapkan presiden, tak bisa diisi oleh kalangan non-PNS.
Di PP baru, ayat serupa juga ada. Namun terdapat tambahan ayat di bawahnya, yang menyebutkan bahwa ketentuan di pasal tersebut, dapat dikecualikan sepanjang mendapatkan persetujuan dari Presiden. Namun persetujuan dilakukan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri, Kepala BKN, dan Menteri Keuangan.
Atas beberapa perubahan yang terjadi, menurut Teddy, keadaan itu sangat menitikberatkan peran kuasa Presiden terhadap pejabat ASN di pemerintahan. Sebab, Presiden memiliki kuasa penuh atas pengangkatan, mutasi, hingga pemberhentian PNS.
"Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely(kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak)," ujar Teddy.