JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR, Netty Prasetiyani menyebut Indonesia memiliki perbedaan yang mencolok saat musim wabah korona ini dengan negara-negara lain. Perbedaan yang ditunjukkan pemerintah melalui kebijakannya belakangan ini benar-benar terlihat kontras dengan realitas wabah itu sendiri.
Netty mengatakan hal itu bisa dilihat dari modus pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatanuntuk rakyatnya sendiri. Belum ada tiga bulan setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan pembatalan kenaikan iuran BPJS, pemerintah diam-diam merencanakan kenaikan itu kembali dengan membuat peraturan baru melalui tangan Presiden Joko Widodo.
Modus seperti ini, kata Netty, benar-benar mempermainkan hati rakyat."Negara kita memang beda, saat rakyat butuh bantuan karena hantaman corona, justru pemerintah menaikkan iuran," kata Netty dalam keterangan tertulis dari Cirebon, Ahad (17/5).
Padahal selama ini, lanjut Netty, pemerintah memiliki banyak anggaran guna memberikan stimulus pada korporasi besar. Tidak hanya itu, pemerintah menurutnya juga sanggup membiayai program pelatihan online Kartu Prakerja yang menyulut banyak kritikan. "Memberi stimulus ke perusahaan-perusahaan besar sanggup, sementara mengurangi beban rakyat tidak mau. Ini kan patut dipertanyakan," kataya.
Kecenderungan pemerintah membenahi ekonomi selama musim pandemi tidak menunjukkan ketegasan untuk memastikan bantuan yang terjamin. Bantuan sosial (bansos) dalam bentuk tunai, misalnya, masih menyimpan kendala data penerima bansos yang mengakibatkan tidak tepatnya sasaran yang dituju. Belum lagi pembagian sembako yang terkesan penuh pencitraan karena melabeli kemasan dengan tulisan mentereng "Bantuan Presiden RI Bersama Lawan COVID-19".
Menurut Netty, kebijakan yang masuk akal saat musibah virus seperti ini adalah melonggarkan segala bentuk tanggungan masyarakat, bukan justru tambah membebani. Dalam keadaan seperti sekarang, negara lain justru berusaha mensubsidi rakyatnya.
"Inggris misalnya, yang akan melakukan apa saja untuk mensubsidi NHS (National Health Services). Pemerintah kita malah menambah beban rakyat. Makanya saya bilang, negara kita memang beda," ujar anggota Komisi IX DPR ini.
TEROPONG JUGA:
>Berharap Perpres Penurunan, Justru Kenaikan yang Datang
Sebagaimana diketahui, Perpres No 64/2012 menetapkan iuran peserta PBPU dan peserta BP kelas 1 sebesar Rp150.000, kelas 2 yakni sebesar Rp100.000, dan kelas 3, iuran yang ditetapkan sebesar Rp42.000.
Angka ini lebih rendah dari Perpres 75/2019 yang sebesar Rp 160.000 kelas I, kelas II sebesar Rp 110.000, dan Rp 51.000 kelas III yang beberapa waktu lalu dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Dengan perpres yang kembali menaikkan iuran kesehatan masyarakat itu, Menurut Netty, belum tentu dapat mengurangi defisit BPJS, yang ada justru berpotensi bakal memperlebar defisit.
"Karena orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas, dari kelas I dan II bisa saja pindah ke kelas III. Orang-orang juga bakal mangkir membayar iuran. Bahkan dapat menjadi pemicu lahirnya sikap pembangkangan massal karena merasa terlalu ditekan dalam kehidupan yang makin sulit," jelas dia.
Untuk itu, Netty meminta agar pemerintah tidak bermain-main dan mengakali hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020. Pemeritah seharusnya menjadi contoh institusi yang baik dan taat pada hukum, bukan malah sebaliknya. "Sedih melihat nasib rakyat Indonesia, sudah jatuh dihantam corona kini tertimpa tangga BPJS" keluhnya.
Mengenai polemik BPJS ini, pandangan berbeda sebelumnya telah dikemukakan oleh pengamat dariHadiekuntono’s Institute, SuhendraHadikuntono. Ia meminta publik untuk tidak memojokkan Presiden Jokowi terkait keputusannya yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, masalah iuran BPJS, membuat Jokowi bak makan buah simalakama.
Jika dinaikkan, kata Suhendra, akan membebani rakyat yang saat ini ekonominya terpuruk akibat pandemi. Akan tetapi, apabila tidak dinaikkan, keberlangsungan BPSJ Kesehatan terancam, bahkan bisa bangkrut sehingga rakyat pula yang akan menanggung akibatnya.
"Jangan pojokkan Presiden yang saat ini sedang fokus pada banyak hal. Bila memang harus ada yang disalahkan, salahkanlah para pembisiknya," kata Suhendra dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Kamis (14/5) lalu.