JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Komisi Ketenagakerjaan (Komisi IX) DPR, Yahya Zaini, mengatakan seiring dengan rencana pemerintah untuk menerapkan kehidupan normal baru, sudah saatnya pemerintah kembali mekanisme awal pelaksanaan Program Kartu Prakerja yaitu melalui pelatihan offline atau gabungan online dan offline.
Politikus Golkar ini mengungkapkan, pelatihan tatap muka mempunyai komposisi kurikulum 30 persen teori dan 70 persen praktek.
"Sangat tepat untuk memberikan bekal keterampilan bagi pekerja yg dirumahkan, terkena PHK atau pelaku UMKM yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19," kata Yahya dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Juni 2020.
TEROPONG JUGA:
> Survei LKPI: Mayoritas Penerima Merasakan Manfaat Kartu Prakerja
Ia menerangkan dalam praktek kartu pra kerja selama ini, pelatihan tatap muka membutuhkan alokasi waktu rata-rata dua minggu dengan jumlah peserta yang terbatas 16 orang setiap angkatan, sehingga cara seperti itu dinilai sangat efektif.
Namun Yahya berpendapat, yang perlu dirancang ulang adalah biaya pelatihannya. Bila dilihat program tersebut mematok biaya pelatihan tatap muka berkisar 4 juta per orang. Sedangkan untuk insentif dapat diturunkan menjadi 300 ribu perbulan selama 3 bulan.
"Dengan demikian, jumlah peserta yang dapat dijangkau juga akan mengalami koreksi menjadi sekitar 4 juta orang," kataya.
Lebih jauh legislator dari dapil Jawa Timur VIII ini mengatakan pelatihan tatap muka akan memberdayakan Balai Latihan Kerja (BLK) yang berjumlah sekitar 305 dan tersebar di seluruh Indonesia. Dimana 21 BLK milik pusat dan 284 milik Pemda dengan daya tampung sebanyak 275.000 orang.
"Tentu harus dilakukan secara selektif sesuai dengan kebutuhan dunia kerja," kata dia.
Ia yakin dengan mengembalikan ke desain pelatihan tatap muka atau offline seperti desain awal, maka akan meredam kritik masyarakat terhadap pelaksanaan Program Kartu Prakerja yang selama ini dilaksanakan secara online.
Namun, dalam masa transisi sekarang ini, kata Yahya, dapat diterapkan pola mix atau gabungan pelatihan online dan offline. Pelatihan online tetap diperlukan terutama untuk jenis-jenis pelatihan yang tidak tersedia di BLK-BLK.
"Pelatihan online juga lebih diminati oleh peserta milenial. Sehingga akan terjadi pembagian peran yang sinergis antara pelatihan online dan offline," jelasnya.
Yahya juga berharap penerapan pelatihan offline hendaknya jadi momentum untuk percepatan pemberdayaan BLK yang sudah dicanangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
"Yang lebih penting, peserta akan mendapatkan keterampilan yang benar-benar dapat diterapkan untuk usaha mandiri selama Covid-19 belum hilang tuntas," katanya.