
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Jamaludin Malik, mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar segera menertibkan praktik premanisme penagihan utang yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan (leasing), sekaligus meminta aturan hukum yang lebih konkret dan mengikat.
Pernyataan ini muncul menyusul insiden kerusuhan di Kalibata yang mengakibatkan tewasnya seorang penagih utang alias mata elang, serta maraknya tindakan premanisme yang dilakukan penagih utang, termasuk kasus kekerasan di Depok. Malik menegaskan bahwa perusahaan pembiayaan tidak boleh menggunakan jasa penagih utang dengan metode kekerasan atau intimidasi yang melanggar hukum.
"OJK harus bergerak cepat dan tidak boleh membiarkan praktik-praktik premanisme ini terus merajalela di lapangan. Ini bukan hanya soal etika bisnis, tapi sudah masuk ranah pidana yang meresahkan masyarakat," ujar Malik, Rabu (17/12/2025).
Menurutnya, insiden-insiden yang terjadi adalah alarm keras bagi OJK. Lembaga pengawas jasa keuangan ini diminta membuat aturan hukum yang konkret dan mengikat mengenai tata cara penagihan utang, melarang penggunaan kekerasan, ancaman, dan perampasan unit secara sepihak di jalan. Proses penarikan unit kendaraan bermotor akibat kredit macet harus dilakukan melalui jalur hukum yang benar, yakni melalui penetapan pengadilan atau lembaga sertifikasi jaminan fidusia.
"Kami meminta OJK segera mengambil tindakan nyata dan memastikan perlindungan konsumen di sektor pembiayaan benar-benar terjamin. Jangan menunggu dan dibahas. Segera tertibkan semua praktik premanisme itu sebelum korban dan kerugian masyarakat semakin banyak," tutupnya.
Diketahui, OJK telah memperkuat aturan terkait perlindungan konsumen, termasuk tata cara penagihan utang, melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
POJK 22/2023 secara eksplisit melarang penggunaan ancaman kekerasan, tekanan fisik maupun verbal, atau tindakan yang bersifat mempermalukan konsumen. Selain itu, penagihan dibatasi hanya boleh dilakukan pada hari Senin sampai dengan Sabtu, pukul 08.00 – 20.00 waktu setempat, kecuali ada persetujuan dari konsumen.
Jika perusahaan pembiayaan menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), POJK mewajibkan mereka memiliki sertifikasi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi yang terdaftar di OJK, serta mewajibkan PUJK bertanggung jawab penuh atas segala tindakan penagih utang tersebut.
Bagi perusahaan yang melanggar, OJK mengancam dengan sanksi administratif berat. Sanksi tersebut berupa denda yang dapat mencapai Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), hingga pembekuan atau pencabutan izin produk dan/atau layanan. OJK menegaskan, ketentuan ini berlaku sebagai dasar penertiban agar praktik premanisme tidak terjadi lagi dan memastikan perlindungan konsumen terjamin.