JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Tak diragukan lagi, sains atau ilmu pengetahuan memegang peranan penting di musim wabah korona. Akurasinya dalam menghitung pergerakan virus diyakini lebih signifikan. Identifikasi yang cermat dalam pengujian sampel serta penelitian yang berbasis empiris terbukti lebih ampuh dalam menangkal, mencegah, dan menyelematkan nyawa orang banyak.
Hal itu dapat dimaklumi karena virus korona sendiri hidup di alam materi. Sudah sepatutnya menghadapinya pun --untuk sementara ini-- adalah dengan basis ilmu pengetahuan yang memang fokus pada penelitian alam. Namun tidak menutup posibilitas lain bahwa suatu saat ada metode lain di luar sains yang bisa menyelesaikan masalah di alam materi.
Dalam kebijakan Normal Baru, pemerintah sudah sepatutnya berpatokan pada sains jika belum menemukan cara lain di luar ini. Pemerintah tak bisa berspekulasi ala dogma atau mantra untuk mengatasi virus yang tak kasat mata ini. Untuk itu, peran peneliti atau ahli di bidang epidemi sangat penting dirangkul sebagai pertimbangan mengambil kebijakan baru.
Anggota komisi kesehatan (Komisi IX) DPR, Netty Prasetiyani, sangat setuju dengan bukti-bukti yang dihasilkan sains. Berpaling dari ilmu ini menurutnya sama saja menghadapi korona dengan tangan kosong.
Netty meminta pemerintah memanfaatkan betul kehadiran sains dalam menanggulangi Corona. Terlebih dalam kebijakan normal baru, setiap keadaan harus dibaca betul-betul melalui hitungan sains.
" New normal tidak bisa dimaknai sebagai kebebasan kembali beraktivitas seperti sebelum pandemi terjadi. Gunakan pendekatan saintifik dalam membuat kebijakan, jangan pakai perasaan. Pemerintah daerah juga harus melibatkan akademisi dan ahli jangan sekedar ikut kebijakan," katanya dalam keterangan tertulis kepada TeropongSenayan, Senin, 8 Juni 2020.
TEROPONG JUGA:
> Pemerintah Diminta Perhatikan Aspek Ini Jelang Penerapan New Normal
Netty yang menjadi ketua tim Covid-19 Fraksi PKS DPR ini mengingatkan pemerintah tak gegabah dalam setiap keputusan yang muncul dalam era normal baru. Segala perencanaan, kata dia, harus terukur baik kuantitatif maupun kualitatif.
"Perencanaan dan penthapan ini harus clear dan jelas dari pusat sampai daerah, terutama daerah yang masih menghadapi Vovid-19. Jangan sampai alih-alih new normal, justru kita menuai badai," tegasnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa bersama WHO Representative to Indonesia Dr. N. Paranietharan dan Tim Pakar Modeling Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19 dr. Panji Fortuna Hadisoemarto telah mengkaji secara ilmiah bagaimana kriteria sebuah negara untuk sah menerapkan normal baru.
Hal ini sebagai syarat juga jika Indonesia ingin melonggarkan PSBB. Hasil kajian menetapkan harus ada tiga kriteria agar negara bisa melakukan sistem normal baru.
Kriteria pertama dan menjadi syarat mutlak adalah epidemiologi, yaitu Angka Reproduksi Efektif atau Rt. Artinya, angka kasus baru telah menurun setidaknya selama dua minggu berturut-turut.
Kriteria kedua adalah kapasitas sistem pelayanan kesehatan yang mensyaratkan kapasitas maksimal tempat tidur rumah sakit dan instalasi gawat darurat untuk perawatan Covid-19 lebih besar dari jumlah kasus baru yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
Kriteria ketiga adalah surveilans, artinya kapasitas tes swab yang cukup. Sesuai dengan kriteria tersebut, jika ada daerah yang telah memenuhi kriteria dapat melakukan penyesuaian PSBB.